Senin, 30 April 2012

Mahabharata Full Version

MAHÀBHÀRATA

Penyusun Mahàbhàrata - Maharûi Vedavyàsa

Maharûi Vyàsa atau Vedavyàsa disebut dalam kitab-kitab Puràóa sebagai keturunan Dewa Viûóu. Viûóu menurunkan Brahmà, dari Brahmà lahir Vasiûþha, dari Vasiûþha lahir Paràúara dan dari Maharûi Paràúara lahirlah Maharûi Vyàsa yang menurut kitab Àdiparva berbahasa Jawa Kuno yang bernama Kåûóadvaipàyana dinyatakan sudah mampu merapalkan mantra-mantra suci Veda ketika masih dikandung di dalam perut ibunya. Maharûi Vyàsa lahir dari seorang wanita dari keluarga nelayan bernama Kàlì. Setelah mengkompilasi kitab Veda menjadi 4 macam (Catur Veda), ia diberi nama Vedavyàsa. 

Seperti telah disebutkan di atas, Kàlì, ibunya adalah seorang wanita dari keluarga nelayan. Pada suatu hari Raja Vasu dari Cedi pergi ke tengah hutan untuk berburu, ia melihat sepasang binatang sedang bersebadan, tidak disadari benih sang raja menetes. Sang raja mengirim  benihnya tersebut kepada istrinya. Dalam perjalanan, benihnya tersebut jatuh ke sungai Kàlindì dan kemudian benih tersebut dimakan ikan. Ikan ini adalah penjelmaan seorang bidadari kahyangan bernama Adrikà, ia menjelma menjadi seekor ikan karena mendapat kutukan. Ikan ini kemudian terperangkap jaring milik seorang nelayan yang hidup di tepi sungai itu. Ketika ikan itu dipotong, ternyata di dalamnya terdapat sepasang bayi laki-perempuan. Bayi laki-laki dipersembahkan kepada raja setempat sedang bayi perempuan dipeliharanya sendiri. Selanjutnya, karena dari tubuh bayi perempuan itu mengeluarkan bau ikan (amis), maka ia diberi nama ‘Matsyagandhà’. Nelayan ini sekaligus seorang tukang tambang (orang yang dengan perahunya menyeberangkan penumpang) dan ketika anak perempuan itu sudah meningkat remaja, ia ikut membantu orang tuanya untuk menyeberangkan penumpang dari tepi sungai Kàlindì.  Suatu hari Maharûi Paràúara bermaksud menyeberang sungai tersebut. Saat itu, nelayan yang juga biasa menyeberangkan penumpang di sungai sedang duduk di tepi sungai menikmati makanan. Segera ketika Maharûi Paràúara datang, nelayan itu memanggil putri angkatnya yang sedang berdiri di dekat Maharûi Paràúara yang akan menyeberangi sungai. Pertapa itu masuk ke dalam perahu. Matsyagandhà segera mendayung perahunya. Bidadari cantik duduk mengayuh perahu di antara riak-riak sungai menggoda kekuatan iman pertapa itu. Pertapa Paràúara tidak dapat menguasai diri dan jatuh cinta terhadap putri angkat nelayan itu segera merapatkan diri. Di desak demikian, Matsyagandhà menjauhkan diri dan memohon jangan menodai kesucian dirinya. Ia mengulang-ulang permohonannya dan bahkan berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Saat itu Pertapa Paràúara dengan kesaktiannya mampu menciptakan awan gelap yang menutupi sekitar perahu. Bau amis seketika pula lenyap digantikan oleh bau harum semerbak. Pertapa Paràúara menciptakan pulau buatan di tengah-tengah sungai itu. Perahu ditambatkan dan keduanya turun ke tengah pulau buatan tersebut. Dapat mengekspresikan cinta kasihnya. Selanjutnya gadis itu menjadi hamil. Pertapa Paràúara berkata kepadanya: “Wahai gadis cantik! Walaupun anda sudah melahirkan, anda akan tetap menjadi seorang perawan yang suci. Seorang anak penjelmaan Dewa Viûóu akan lahir, manusia suci, akan terkenal di Tribhuvana, sangat cerdas dan terpelajar, dan akan menjadi guru para pandita di seluruh dunia. Anda akan melahirkan anak itu! Ia akan mengkompilasi kitab suci Veda dan akan mengangkat martabat umat manusia di seluruh dunia! Kemudian Maharûi Paràúara menyucikan diri di tepi sungai Yamunà, nama lain dari sungai Kàlindì. Segera setelah putra Sayojanagandhì (nama Matsyagandhà dirubah ketika tubuh gadis ini menjadi harum oleh karena kesaktian Maharûi Paràúara) lahir, bayi laki-laki berwajah tampan dan dalam sekejap menjadi åûi agung dengan memancarkan cahaya spiritual sebagai pahala dari kebaktiannya, melaksanakan pertapaan yang ketat, dan berkata kepada ibunya: “Ibu, silahkan ibu pergi ke mana ibu Úuka. Ibu tidak perlu khawatir dengan saya. Saya akan melanjutkan pertapaan saya meninggalkan tempat ini. Ketika sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada diri ibu, saat itu pikirkan saya. Tidak beberapa lama saya akan muncul di hadapan ibu. Saya akan mendampingi ibu. Saya berharap ibu senantiasa bahagia dalam hidup ini. Sekarang saya pergi meninggalkan ibu!” Demikian kata-kata putranya yang gagah perkasa meninggalkan ibunya (Devì Bhàgavata Puràóa Skandha 2, Mahàbhàrata, Àdiparva 60-63).

Nampak dua sisi kehidupan Maharûi Vyàsa, yakni sebagai seorang pribadi maupun dalam kehidupan spiritual. Setelah perkawinan ibunya dewi Kàlì yang juga bernama Satyavatì dengan Mahàràja Úantanu, dari dinasti Sùrya (Sùryavaýúa). Maharûi Vyàsa terus mengadakan komunikasi dengan Hastinàpura. Senantiasa berpartisipasi dalam Úuka dan duka bersama Pàóðava dan Kaurava merupakan sisi kehidupan duniawi dari Maharûi Vyàsa, tetapi sebagian besar kehidupannya dihabiskan di pertapaan di hutan dengan sangat banyak siswa yang mempelajari Veda. Secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut.

Di hutan. Kita tidak begitu banyak mendapatkan informasi tentang masa remaja dari  Maharûi Vyàsa atau Úrì Kåûóadvaipàyana, setelah kelahirannya dengan sebuah pesan kepada ibunya,  ibunya mendapat kesusahan, segera saja melalui pikirannya memanggil Maharûi Vyàsa yang akan segera muncul di hadapannya. Barangkali lebih banyak waktunya dipergunakan untuk tinggal di pertapaan di hutan mempelajari kitab suci Veda dari para pertapa. Kemudian muncul sebagai guru spiritual dan seorang pandita di tepi sungai Sarasvatì. Pada saat beliau melakukan pertapaan di sana, ia melihat sepasang burung pipit dengan kaki dan paruhnya berwarna merah, tubuhnya belum tumbuh bulu, mencicit kelaparan sedang disuapin oleh induknya dengan penuh kasih sayang. Induknya terbang kesana kemari mencari makanan untuk diberikan anak-anaknya. Induknya menciumi anaknya secara bergantian dan kemudian menyuapi mereka. Anak-anak burung pipit menyembunyikan tubuhnya pada kedua ekor induknya untuk memperoleh kehangatan dan bergembira, mendongakkan kepalanya di sekitar sarangnya ke segala arah.

Kelahiran seorang anak. Memperhatikan suasana demikian, kesadaran kebapaan muncul pada diri Maharûi Vyàsa. Ia memahami cinta seseorang kepada anak-anaknya adalah wujud cinta yang sejati, cinta yang murni dan sederhana. Lagi pula terdapat kepercayaan tanpa kelahiran seorang anak, orang tua tidak akan mencapai sorga. Maharûi Vyàsa bersedih hati dan berdiam diri dan pergi tanpa tujuan dan sampai di lereng gunung Himàlaya. Diliputi oleh keragu-raguan, ia mempertimbangkan untuk memohon petunjuk devatà untuk memenuhi keinginannya. Ia belum menentukan pilihan. Maharûi Nàrada tiba-tiba datang ke tempatnya. Dari percakapannya tersebut Maharûi Nàrada memahami bahwa ketiadaan anak merupakan sebab dari penderitaan. Maharûi Nàrada memberikan nasehat kepadanya untuk mencapai Puruûàrtha (tujuan hidup), dan untuk itu pertapaan mesti dilakukan di hadapan arca Devì. Memperoleh nasehat demikian Maharûi Vyàsa pergi ke suatu tempat dekat dengan puncak Mahàmeru untuk melakukan pertapaan. Pada saat Maharûi Vyàsa melakukan tapa brata, bidadari kahyangan bernama Ghåtàcì berusaha menggagalkan pertapaan Maharûi Vyàsa. Ghåtàcì benar-benar berusaha menggoda pertapaan Maharûi Vyàsa. Ia mengubah wujudnya menjadi seekor burung nuri dengan lima macam warna bulunya yang indah terbang di hadapannya. Menyaksikan keindahan burung nuri tersebut Maharûi Vyàsa menghentikan pertapaannya dan sangat tertarik dengan burung tersebut. Tanpa disadari benih Maharûi Vyàsa menetes ke luar.  Ia jatuh cinta. Dalam keadaan demikian ia lupa diri dan benih yang jatuh itu menimpa sepotong kayu bakar. Dari kayu bakar itu muncul seorang yang bercahaya gemerlapan, yang lahir tidak melalui kandungan seorang ibu, semua isi dunia berbahagia. Kulit menjangan hitam, kendi amåta (tempat air suci), tongkat pertapa dan lain-lain berjatuhan dari angkasa. Upacara kelahiran sesuai dengan ajaran agama dilaksanakan oleh Maharûi Vyàsa. Kelahiran anak ini dipengaruhi oleh keindahan seekor burung nuri, maka bayi tersebut diberi nama Úuka. Demikian lahir anak ini berkembang cepat dan dalam waktu yang singkat menjadi seorang anak yang memancarkan cahaya spiritual. Setelah diinisiasi dengan benang suci (upavita) anak tersebut dididik pada sebuah àúrama (pertapaan) di bawah pimpinan Maharûi Båhaspati, yang merupakan guru para devatà. Setelah selesai mengikuti pendidikan dari Maharûi Båhaspati dan mengikuti upacara Samàvartana (semacam pemberian izasah), dan ia mempersembahkan dakûióà kepada para guru yang mendidiknya, ia kembali ke pertapaan menemui ayahda Maharûi Vyàsa.

Perpisahan dengan putra. Sementara Úuka mengikuti kehidupan berkeluarga (berumah tangga) dan tinggal bersama di pertapaan ayahandanya, kemudian ia meninggalkan tempat itu dan keluarganya menuju puncak gunung Kailàsa dan melaksanakan pertapaan dengan memuja Sang Hyang Úiva. Akhirnya  ia menjadi manusia kedewataan, mencapai kesempurnaan dan mampu menembus angkasa dan menyaksikan ada matahari lain yang memancarkan sinarnya di tempat itu, sebagai matahari yang ke dua di luar matahari di alam semesta kita. Para devatà menyaksikan kejadian itu serta memberi penghormatan kepadanya. Perpisahan dengan putranya ini menggusarkan keteguhan pikiran Maharûi Vyàsa. Diliputi oleh kesedihan, Maharûi Vyàsa meninggalkan pertapaannya, kesana kemari memanggil putranya itu. Maharûi Vyàsa tidak menemukan putranya dan akhirnya sampai ke puncak Kailàsa, di sana menemukan putra sedang melakukan pertapaan. Berdiri di sana dan menjerit memanggil. Paramaúiva muncul di hadapan Maharûi Vyàsa yang menjadikannya tenang. Maharûi Vyàsa kembali kepertapaanya dan hidup di sana. Penderitaan Maharûi Vyàsa bertambah-tambah setelah berpisah dengan para siswanya tercinta seperti Àsìta, Devala, Vaiúampàyana, Sumantu, Jaiminì dan yang lain-lain, karena mereka semuanya telah menyelesaikan pendidikannya. Semua di sekitar pertapaan sepertinya ikut bersedih dan tidak dapat menghibur hatinya. Akhirnya Maharûi Vyàsa memikirkan keadaan ibunya (Devì Bhàgavata Skandha 1).

Perkawinan Úantanu dengan Satyavatì. Dalam beberapa periode banyak terjadi perubahan di Hastinàpura dan di tepi sungai Yamunà. Úantanu, raja dari dinasti Sùrya (Sùryavaýúa) mengawini Dewi Gaògà yang lenyap kembali ke kahyangan setelah melahirkan putra Devavrata (Bhìûma). Bhìûma tumbuh berkembang menjadi seorang remaja. Suatu hari Maharaja Úantanu pergi berburu ke tengah hutan dan ia tertarik oleh bau harum  semerbak di sekitarnya. Ia berusaha mencari sumber bau tersebut, ternyata bau tersebut dipancarkan oleh dewi Satyavatì yang juga bernama Kastùrigandhà atau Sayojanagandhì, ibu dari Maharûi Vyàsa. Raja Úantanu jatuh cinta kepadanya. Ia kembali ke keraton dalam suasana sedih dan berdiam diri. Mengetahui kesedihan orang tuanya, Devavrata pergi ke rumah nelayan tempat tinggal dewi yang berbau harum itu,  dan mengambil dewi Satyavatì, membawanya ke keraton dan menyampaikan kepada ayahandanya. Devavrata bersumpah bahwa kerajaan akan diberikan kepada putra dewi Satyavatì dan ia akan tetap tidak kawin sepanjang hidupnya, oleh karena sumpah yang mengerikan itu, ia diberi nama Bhìûma.  Dua orang putra lahir dari Raja Úantanu, yakni Citràògada dan Vicitravìrya. Citràògada meninggal ketika masih muda belia. Vicitravìrya mengawini Ambikà dan Ambàlikà, putri-putri Raja Kàúi. Vicitravìrya meninggal ketika belum melahirkan seorang putra. Dengan demikian dinasti ini akan punah.  Dalam situasi yang merisaukan ini dewi Satyavatì memikirkan putranya Maharûi Vyàsa.

Maharûi Vyàsa di Hastinàpurì. Ketika Dewi Satyavatì memikirkan putra, dalam sekejap Maharûi Vyàsa telah berada di hadapannya. Disebabkan oleh semacam tekanan, dua orang putra lahir,  masing-masing dari Ambikà lahir Dhåtaràûþra dan dari Ambàlikà lahir Pàóðu. Vidura dilahirkan oleh Maharûi Vyàsa melalui pembantu istana. Dari Dhåtaràûþra lahir 100 Kaurava bersaudara, sedang dari Pàóðu lahir Pàóðava lima bersaudara. Maharûi Sejak kelahiran Dhåtaràûþra dan Pàóðu, Maharûi Vyàsa menjadi guru spiritual kedua kedua raja bersaudara ini. Maharûi Vyàsa menjadi penasehat Kerajaan Hastinàpura dan tempat tinggalnya yang permanen adalah pertapaan Badarikàúrama di lereng pegunungan Himàlaya. Hubungan Hastinàpura dengan Maharûi Vyàsa berakhir sampai Mahàprasthàna (perjalanan besar) Pàóðava. Dalam segala kegiatan pemerintahan,  Maharûi Vyàsa ikut mengarahkannya.

Di dalam Mahàbhàrata, Maharûi Vyàsa menghadiahkan 100 putra kepada Gàndhàrì (Àdiparva 114. 8). Maharûi Vyàsa  memotong daging yang banyak menjadi 100 potongan dan menyimpannya dalam 100 periuk (Àdiparva 114.17). Maharûi Vyàsa menjelaskan kepada Gàndhàrì bahwa 100 putra dan putri akan lahir dari padanya (Àdiparva 115.16). Maharûi Vyàsa menghibur Pàóðava yang tinggal di hutan bersama ibu dewi Kuntì, setelah kematian ayahandanya Pàóðu (Àdiparva 155.5). Dalam suatu kesempatan Maharûi Vyàsa mengunjungi Pàóðava dan menjelaskan kepadanya cerita tentang kelahiran dewi Pàñcali (Àdiparva 168). Maharûi Vyàsa mengusahakan segala kemungkinan untuk dapatnya Pàóðava mengawini dewi Pàñcali (Àdiparva 195). Sangat sering Maharûi Vyàsa muncul dalam persidangan di bawah pimpinan Dharmaputra (Sabhàparva 4.11). Maharûi Vyàsa yang mengirim Arjuna ke arah Utara, Bhìmasena ke arah Timur, Sahàdeva ke arah Selatan dan Nakula ke arah Barat untuk memenangkan pertempuran di wilayah-wilayah tersebut (Sabhàparva, Dàkûióàpàþha 26). Maharûi Vyàsa mempersiapkan sendiri segala sesuatunya untuk persiapan upacara Ràjasùya, upacara agung penobatan Yudhiûþhira (Sabhàparva 33.34). Pada akhir upacara Ràjasùya, Maharûi Vyàsa meramalkan masa depan Yudhiûþhira (Sabhàparva 46.1). Ketika upacara Ràjasùya berakhir Maharûi Vyàsa memberikan restunya kepada Yudhiûþhira (Sabhàparva 53.10). Maharûi Vyàsa menasehati Dhåtaràûþra untuk mencegah perbuatannya yang melanggar hukum (Vànaparva 7 dan 8).  Ketika Pàóðava tinggal di hutan Dvaitavana, Maharûi Vyàsa mengunjunginya dan mengajarkan Yudhiûþhira seni Pratismåti (Vànaparva 36.24). Maharûi Vyàsa mengutus Sañjaya untuk menemui Dhåtaràûþra menceritakan kepadanya tentang keagungan dan kehebatan Úrì Kåûóa dan Arjuna (Udyogaparva 69.11). Maharûi Vyàsa memberi kemampuan untuk melihat tembus mengatasi ruang dan waktu (divyadåûþi) kepada Sañjaya (Bhìûmaparva 2.10). Maharûi Vyàsa menghibur Yudhiûþhira yang sangat terpukul karena kesedihan terjadinya perang di antara keluarga Bhàrata (Droóaparva 71.23). Ketika Yudhiûþhira menjerit menangis sedih karena kematian Ghaþotkaca dalam perang Bhàrata, Maharûi Vyàsa datang menemuinya dan memberikan ketenangan bathin (Droóaparva 183.58). Maharûi Vyàsa menceritakan keagungan dan kesaktian Sang Hyang Úiva dan Úrì Kåûóa kepada Aúvatthàmà (Droóaparva 201.56). Ketika Sàtyaki bermaksud membunuh Sañjaya, Maharûi Vyàsa datang dan melindungi Sañjaya dari percobaan pembunuhan tersebut (Úalyaparva 29.39). Maharûi Vyàsa menyatakan bahwa tindakan mengutuk Aúvatthàmà yang dilakukan oleh Úrì Kåûóa adalah benar (Sauptikaparva 16.17). Maharûi Vyàsa mencegah maksud Gàndhàrì untuk mengutuk Pàóðava (Strìparva 14.7). Ketika Bhàratayuddha (perang di antara keluarga Bhàrata) telah selesai, Maharûi Vyàsa menasehati Yudhiûþhira tentang administrasi untuk menjalankan pemerintahan (Anusàsanaparva). Yudhiûþhira sangat sedih atas kematian sahabat dan saudara-saudara tercinta pada perang Bhàrata dan memilih jalan pintas untuk bunuh diri, Maharûi Vyàsa datang dan mencegah usaha untuk bunuh diri tersebut (Úàntiparva 27.28). Maharûi Vyàsa datang mengunjungi åûi Bhìûma yang tidur terlentang di atas tempat tidur dari ujung panah (Úàntiparva 45.5). Maharûi Vyàsa menasehati Yudhiûþhira untuk segera menyelenggarakan Upacara Aúvamedhayajña (korban kuda / Aúvamedhikaparva 3.8). Maharûi Vyàsa memberi petunjuk untuk mendatangi Raja Màruta untuk memperoleh kekayaan ketika perang Bhàrata telah selesai (Aúvamedhikaparva 3.20).

Demikian secara ringkas riwayat penyusun karya sastra yang sangat mengagumkan, seorang åûi agung bernama Vyàsa, Vedavyàsa, Kåûóadvaipàyana dan di dalam kitab Brahmasùtra disebut dengan nama Bàdaràyaóa, dihubungkan dengan nama pertapaan beliau di Badarikàúrama yang kini dikenal dengan nama Badrinàtha, terletak di lereng atas pegunungan Himàlaya. Para peserta tìrthayàtra atau para yàtri mengusahakan selama hidupnya dapat paling tidak mengunjungi 4 tempat suci di pegunungan Himàlaya, yakni Gaògotrì (hulu sungai Gaògà), Yamunotrì (hulu sungai Yamunà), Kedarnath (hulu sungai Alakandhà) dan Badrinàtha (pertapaan Maharûi Vyàsa).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar