MAHÀBHÀRATA
Penyusun Mahàbhàrata - Maharûi Vedavyàsa
Maharûi Vyàsa atau Vedavyàsa disebut dalam kitab-kitab Puràóa sebagai
keturunan Dewa Viûóu.
Viûóu menurunkan Brahmà, dari Brahmà lahir Vasiûþha, dari Vasiûþha lahir
Paràúara dan dari Maharûi Paràúara lahirlah Maharûi Vyàsa yang menurut kitab
Àdiparva berbahasa Jawa Kuno yang bernama Kåûóadvaipàyana dinyatakan sudah
mampu merapalkan mantra-mantra suci Veda ketika masih dikandung di dalam perut
ibunya. Maharûi Vyàsa lahir dari seorang wanita dari keluarga nelayan bernama
Kàlì. Setelah mengkompilasi kitab Veda menjadi 4 macam
(Catur Veda), ia diberi nama Vedavyàsa.
Seperti telah
disebutkan di atas, Kàlì, ibunya adalah seorang wanita dari keluarga nelayan.
Pada suatu hari Raja Vasu dari Cedi pergi ke tengah hutan untuk berburu, ia
melihat sepasang binatang sedang bersebadan, tidak disadari benih sang raja
menetes. Sang raja mengirim benihnya
tersebut kepada istrinya. Dalam perjalanan, benihnya tersebut jatuh ke sungai
Kàlindì dan kemudian benih tersebut dimakan ikan. Ikan ini adalah penjelmaan
seorang bidadari kahyangan bernama Adrikà, ia menjelma menjadi seekor ikan
karena mendapat kutukan. Ikan ini kemudian terperangkap jaring milik seorang
nelayan yang hidup di tepi sungai itu. Ketika ikan itu dipotong, ternyata di
dalamnya terdapat sepasang bayi laki-perempuan. Bayi laki-laki dipersembahkan
kepada raja setempat sedang bayi perempuan dipeliharanya sendiri. Selanjutnya,
karena dari tubuh bayi perempuan itu mengeluarkan bau ikan (amis), maka ia
diberi nama ‘Matsyagandhà’. Nelayan ini sekaligus seorang tukang tambang (orang
yang dengan perahunya menyeberangkan penumpang) dan ketika anak perempuan itu
sudah meningkat remaja, ia ikut membantu orang tuanya untuk menyeberangkan
penumpang dari tepi sungai Kàlindì.
Suatu hari Maharûi Paràúara bermaksud menyeberang sungai tersebut. Saat
itu, nelayan yang juga biasa menyeberangkan penumpang di sungai sedang duduk di
tepi sungai menikmati makanan. Segera ketika Maharûi Paràúara datang, nelayan
itu memanggil putri angkatnya yang sedang berdiri di dekat Maharûi Paràúara
yang akan menyeberangi sungai. Pertapa itu masuk ke dalam perahu. Matsyagandhà
segera mendayung perahunya. Bidadari cantik duduk mengayuh perahu di antara
riak-riak sungai menggoda kekuatan iman pertapa itu. Pertapa Paràúara tidak
dapat menguasai diri dan jatuh cinta terhadap putri angkat nelayan itu segera
merapatkan diri. Di desak demikian, Matsyagandhà menjauhkan diri dan memohon jangan
menodai kesucian dirinya. Ia mengulang-ulang permohonannya dan bahkan berdoa
kepada Yang Maha Kuasa. Saat itu Pertapa Paràúara dengan kesaktiannya mampu
menciptakan awan gelap yang menutupi sekitar perahu. Bau amis seketika pula
lenyap digantikan oleh bau harum semerbak. Pertapa Paràúara menciptakan pulau
buatan di tengah-tengah sungai itu. Perahu ditambatkan dan keduanya turun ke
tengah pulau buatan tersebut. Dapat mengekspresikan cinta kasihnya. Selanjutnya
gadis itu menjadi hamil. Pertapa Paràúara berkata kepadanya: “Wahai gadis
cantik! Walaupun anda sudah melahirkan, anda akan tetap menjadi seorang perawan
yang suci. Seorang anak penjelmaan Dewa Viûóu akan lahir, manusia suci, akan terkenal di Tribhuvana, sangat cerdas dan
terpelajar, dan akan menjadi guru para pandita di seluruh dunia. Anda akan
melahirkan anak itu! Ia akan mengkompilasi kitab suci Veda dan akan mengangkat
martabat umat manusia di seluruh dunia! Kemudian Maharûi Paràúara menyucikan
diri di tepi sungai Yamunà, nama lain dari sungai Kàlindì. Segera setelah putra
Sayojanagandhì (nama Matsyagandhà dirubah ketika tubuh gadis ini menjadi harum
oleh karena kesaktian Maharûi Paràúara) lahir, bayi laki-laki berwajah tampan
dan dalam sekejap menjadi åûi agung dengan memancarkan cahaya spiritual sebagai
pahala dari kebaktiannya, melaksanakan pertapaan yang ketat, dan berkata kepada
ibunya: “Ibu, silahkan ibu pergi ke mana ibu Úuka. Ibu tidak perlu khawatir
dengan saya. Saya akan melanjutkan pertapaan saya meninggalkan tempat ini.
Ketika sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi pada diri ibu, saat itu pikirkan
saya. Tidak beberapa lama saya akan muncul di hadapan ibu. Saya akan
mendampingi ibu. Saya berharap ibu senantiasa bahagia dalam hidup ini. Sekarang
saya pergi meninggalkan ibu!” Demikian kata-kata putranya yang gagah perkasa
meninggalkan ibunya (Devì Bhàgavata Puràóa Skandha 2, Mahàbhàrata, Àdiparva
60-63).
Nampak dua sisi kehidupan Maharûi Vyàsa, yakni sebagai seorang pribadi
maupun dalam kehidupan spiritual. Setelah perkawinan ibunya dewi Kàlì yang juga
bernama Satyavatì dengan Mahàràja Úantanu, dari dinasti Sùrya (Sùryavaýúa).
Maharûi Vyàsa terus mengadakan komunikasi dengan Hastinàpura. Senantiasa
berpartisipasi dalam Úuka dan duka bersama Pàóðava dan Kaurava merupakan sisi
kehidupan duniawi dari Maharûi Vyàsa, tetapi sebagian besar kehidupannya
dihabiskan di pertapaan di hutan dengan sangat banyak siswa yang mempelajari
Veda. Secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut.
Di hutan. Kita tidak begitu
banyak mendapatkan informasi tentang masa remaja dari Maharûi Vyàsa atau Úrì Kåûóadvaipàyana,
setelah kelahirannya dengan sebuah pesan kepada ibunya, ibunya mendapat kesusahan, segera saja
melalui pikirannya memanggil Maharûi Vyàsa yang akan segera muncul di
hadapannya. Barangkali lebih banyak waktunya dipergunakan untuk tinggal di
pertapaan di hutan mempelajari kitab suci Veda dari para pertapa. Kemudian
muncul sebagai guru spiritual dan seorang pandita di tepi sungai Sarasvatì.
Pada saat beliau melakukan pertapaan di sana, ia melihat sepasang burung pipit
dengan kaki dan paruhnya berwarna merah, tubuhnya belum tumbuh bulu, mencicit
kelaparan sedang disuapin oleh induknya dengan penuh kasih sayang. Induknya
terbang kesana kemari mencari makanan untuk diberikan anak-anaknya. Induknya
menciumi anaknya secara bergantian dan kemudian menyuapi mereka. Anak-anak
burung pipit menyembunyikan tubuhnya pada kedua ekor induknya untuk memperoleh
kehangatan dan bergembira, mendongakkan kepalanya di sekitar sarangnya ke
segala arah.
Kelahiran seorang anak. Memperhatikan suasana demikian, kesadaran
kebapaan muncul pada diri Maharûi Vyàsa. Ia memahami cinta seseorang kepada
anak-anaknya adalah wujud cinta yang sejati, cinta yang murni dan sederhana.
Lagi pula terdapat kepercayaan tanpa kelahiran seorang anak, orang tua tidak
akan mencapai sorga. Maharûi Vyàsa bersedih hati dan berdiam diri dan pergi
tanpa tujuan dan sampai di lereng gunung Himàlaya. Diliputi oleh keragu-raguan,
ia mempertimbangkan untuk memohon petunjuk devatà untuk memenuhi keinginannya.
Ia belum menentukan pilihan. Maharûi Nàrada tiba-tiba datang ke tempatnya. Dari
percakapannya tersebut Maharûi Nàrada memahami bahwa ketiadaan anak merupakan
sebab dari penderitaan. Maharûi Nàrada memberikan nasehat kepadanya untuk
mencapai Puruûàrtha (tujuan hidup), dan untuk itu pertapaan mesti dilakukan di
hadapan arca Devì. Memperoleh nasehat demikian Maharûi Vyàsa pergi ke suatu
tempat dekat dengan puncak Mahàmeru untuk melakukan pertapaan. Pada saat
Maharûi Vyàsa melakukan tapa brata, bidadari kahyangan bernama Ghåtàcì berusaha
menggagalkan pertapaan Maharûi Vyàsa. Ghåtàcì benar-benar berusaha menggoda
pertapaan Maharûi Vyàsa. Ia mengubah wujudnya menjadi seekor burung nuri dengan
lima macam warna bulunya yang indah terbang di hadapannya. Menyaksikan keindahan
burung nuri tersebut Maharûi Vyàsa menghentikan pertapaannya dan sangat
tertarik dengan burung tersebut. Tanpa disadari benih Maharûi Vyàsa menetes ke
luar. Ia jatuh cinta. Dalam keadaan
demikian ia lupa diri dan benih yang jatuh itu menimpa sepotong kayu bakar.
Dari kayu bakar itu muncul seorang yang bercahaya gemerlapan, yang lahir tidak
melalui kandungan seorang ibu, semua isi dunia berbahagia. Kulit menjangan
hitam, kendi amåta (tempat air suci), tongkat pertapa dan lain-lain berjatuhan
dari angkasa. Upacara kelahiran sesuai dengan ajaran agama dilaksanakan oleh
Maharûi Vyàsa. Kelahiran anak ini dipengaruhi oleh keindahan seekor burung
nuri, maka bayi tersebut diberi nama Úuka. Demikian lahir anak ini berkembang
cepat dan dalam waktu yang singkat menjadi seorang anak yang memancarkan cahaya
spiritual. Setelah diinisiasi dengan benang suci (upavita) anak tersebut
dididik pada sebuah àúrama (pertapaan) di bawah pimpinan Maharûi Båhaspati,
yang merupakan guru para devatà. Setelah selesai mengikuti pendidikan dari
Maharûi Båhaspati dan mengikuti upacara Samàvartana (semacam pemberian izasah),
dan ia mempersembahkan dakûióà kepada para guru yang mendidiknya, ia kembali ke
pertapaan menemui ayahda Maharûi Vyàsa.
Perpisahan dengan
putra. Sementara Úuka mengikuti kehidupan berkeluarga (berumah tangga) dan
tinggal bersama di pertapaan ayahandanya, kemudian ia meninggalkan tempat itu
dan keluarganya menuju puncak gunung Kailàsa dan melaksanakan pertapaan dengan
memuja Sang Hyang Úiva. Akhirnya ia
menjadi manusia kedewataan, mencapai kesempurnaan dan mampu menembus angkasa
dan menyaksikan ada matahari lain yang memancarkan sinarnya di tempat itu,
sebagai matahari yang ke dua di luar matahari di alam semesta kita. Para devatà
menyaksikan kejadian itu serta memberi penghormatan kepadanya. Perpisahan
dengan putranya ini menggusarkan keteguhan pikiran Maharûi Vyàsa. Diliputi oleh
kesedihan, Maharûi Vyàsa meninggalkan pertapaannya, kesana kemari memanggil
putranya itu. Maharûi Vyàsa tidak menemukan putranya dan akhirnya sampai ke
puncak Kailàsa, di sana menemukan putra sedang melakukan pertapaan. Berdiri di
sana dan menjerit memanggil. Paramaúiva muncul di hadapan Maharûi Vyàsa yang
menjadikannya tenang. Maharûi Vyàsa kembali kepertapaanya dan hidup di sana.
Penderitaan Maharûi Vyàsa bertambah-tambah setelah berpisah dengan para
siswanya tercinta seperti Àsìta, Devala, Vaiúampàyana, Sumantu, Jaiminì dan
yang lain-lain, karena mereka semuanya telah menyelesaikan pendidikannya. Semua
di sekitar pertapaan sepertinya ikut bersedih dan tidak dapat menghibur
hatinya. Akhirnya Maharûi Vyàsa memikirkan keadaan ibunya (Devì Bhàgavata
Skandha 1).
Perkawinan Úantanu dengan Satyavatì. Dalam beberapa periode
banyak terjadi perubahan di Hastinàpura dan di tepi sungai Yamunà. Úantanu,
raja dari dinasti Sùrya (Sùryavaýúa) mengawini Dewi Gaògà yang lenyap kembali
ke kahyangan setelah melahirkan putra Devavrata (Bhìûma). Bhìûma tumbuh
berkembang menjadi seorang remaja. Suatu hari Maharaja Úantanu pergi berburu ke
tengah hutan dan ia tertarik oleh bau harum
semerbak di sekitarnya. Ia berusaha mencari sumber bau tersebut,
ternyata bau tersebut dipancarkan oleh dewi Satyavatì yang juga bernama
Kastùrigandhà atau Sayojanagandhì, ibu dari Maharûi Vyàsa. Raja Úantanu jatuh
cinta kepadanya. Ia kembali ke keraton dalam suasana sedih dan berdiam diri.
Mengetahui kesedihan orang tuanya, Devavrata pergi ke rumah nelayan tempat
tinggal dewi yang berbau harum itu, dan
mengambil dewi Satyavatì, membawanya ke keraton dan menyampaikan kepada
ayahandanya. Devavrata bersumpah bahwa kerajaan akan diberikan kepada putra
dewi Satyavatì dan ia akan tetap tidak kawin sepanjang hidupnya, oleh karena
sumpah yang mengerikan itu, ia diberi nama Bhìûma. Dua orang putra lahir dari Raja Úantanu,
yakni Citràògada dan Vicitravìrya. Citràògada meninggal ketika masih muda
belia. Vicitravìrya mengawini Ambikà dan Ambàlikà, putri-putri Raja Kàúi.
Vicitravìrya meninggal ketika belum melahirkan seorang putra. Dengan demikian
dinasti ini akan punah. Dalam situasi
yang merisaukan ini dewi Satyavatì memikirkan putranya Maharûi Vyàsa.
Maharûi Vyàsa di
Hastinàpurì. Ketika Dewi Satyavatì memikirkan putra, dalam sekejap Maharûi Vyàsa
telah berada di hadapannya. Disebabkan oleh semacam tekanan, dua orang putra
lahir, masing-masing dari Ambikà lahir
Dhåtaràûþra dan dari Ambàlikà lahir Pàóðu. Vidura dilahirkan oleh Maharûi Vyàsa
melalui pembantu istana. Dari Dhåtaràûþra lahir 100 Kaurava bersaudara, sedang
dari Pàóðu lahir Pàóðava lima bersaudara. Maharûi Sejak kelahiran Dhåtaràûþra dan
Pàóðu, Maharûi Vyàsa menjadi guru spiritual kedua kedua raja bersaudara ini.
Maharûi Vyàsa menjadi penasehat Kerajaan Hastinàpura dan tempat tinggalnya yang
permanen adalah pertapaan Badarikàúrama di lereng pegunungan Himàlaya. Hubungan
Hastinàpura dengan Maharûi Vyàsa berakhir sampai Mahàprasthàna (perjalanan
besar) Pàóðava. Dalam segala kegiatan pemerintahan, Maharûi Vyàsa ikut
mengarahkannya.
Di dalam Mahàbhàrata, Maharûi Vyàsa menghadiahkan 100 putra kepada
Gàndhàrì (Àdiparva 114. 8). Maharûi Vyàsa
memotong daging yang banyak menjadi 100 potongan dan menyimpannya dalam
100 periuk (Àdiparva 114.17). Maharûi Vyàsa menjelaskan kepada Gàndhàrì bahwa
100 putra dan putri akan lahir dari padanya (Àdiparva 115.16). Maharûi Vyàsa
menghibur Pàóðava yang tinggal di hutan bersama ibu dewi Kuntì, setelah
kematian ayahandanya Pàóðu (Àdiparva 155.5). Dalam suatu kesempatan Maharûi
Vyàsa mengunjungi Pàóðava dan menjelaskan kepadanya cerita tentang kelahiran
dewi Pàñcali (Àdiparva 168). Maharûi Vyàsa mengusahakan segala kemungkinan
untuk dapatnya Pàóðava mengawini dewi Pàñcali (Àdiparva 195). Sangat sering
Maharûi Vyàsa muncul dalam persidangan di bawah pimpinan Dharmaputra
(Sabhàparva 4.11). Maharûi Vyàsa yang mengirim Arjuna ke arah Utara, Bhìmasena
ke arah Timur, Sahàdeva ke arah Selatan dan Nakula ke arah Barat untuk
memenangkan pertempuran di wilayah-wilayah tersebut (Sabhàparva, Dàkûióàpàþha
26). Maharûi Vyàsa mempersiapkan sendiri segala sesuatunya untuk persiapan
upacara Ràjasùya, upacara agung penobatan Yudhiûþhira (Sabhàparva 33.34). Pada
akhir upacara Ràjasùya, Maharûi Vyàsa meramalkan masa depan Yudhiûþhira
(Sabhàparva 46.1). Ketika upacara Ràjasùya berakhir Maharûi Vyàsa memberikan
restunya kepada Yudhiûþhira (Sabhàparva 53.10). Maharûi Vyàsa menasehati Dhåtaràûþra
untuk mencegah perbuatannya yang melanggar hukum (Vànaparva 7 dan 8). Ketika Pàóðava tinggal di hutan Dvaitavana,
Maharûi Vyàsa mengunjunginya dan mengajarkan Yudhiûþhira seni Pratismåti
(Vànaparva 36.24). Maharûi Vyàsa mengutus Sañjaya untuk menemui Dhåtaràûþra
menceritakan kepadanya tentang keagungan dan kehebatan Úrì Kåûóa dan Arjuna
(Udyogaparva 69.11). Maharûi Vyàsa memberi kemampuan untuk melihat tembus
mengatasi ruang dan waktu (divyadåûþi) kepada Sañjaya (Bhìûmaparva 2.10).
Maharûi Vyàsa menghibur Yudhiûþhira yang sangat terpukul karena kesedihan
terjadinya perang di antara keluarga Bhàrata (Droóaparva 71.23). Ketika
Yudhiûþhira menjerit menangis sedih karena kematian Ghaþotkaca dalam perang
Bhàrata, Maharûi Vyàsa datang menemuinya dan memberikan ketenangan bathin
(Droóaparva 183.58). Maharûi Vyàsa menceritakan keagungan dan kesaktian Sang
Hyang Úiva dan Úrì Kåûóa kepada Aúvatthàmà (Droóaparva 201.56). Ketika Sàtyaki
bermaksud membunuh Sañjaya, Maharûi Vyàsa datang dan melindungi Sañjaya dari
percobaan pembunuhan tersebut (Úalyaparva 29.39). Maharûi Vyàsa menyatakan
bahwa tindakan mengutuk Aúvatthàmà yang dilakukan oleh Úrì Kåûóa adalah benar
(Sauptikaparva 16.17). Maharûi Vyàsa mencegah maksud Gàndhàrì untuk mengutuk
Pàóðava (Strìparva 14.7). Ketika Bhàratayuddha (perang di antara keluarga
Bhàrata) telah selesai, Maharûi Vyàsa menasehati Yudhiûþhira tentang
administrasi untuk menjalankan pemerintahan (Anusàsanaparva). Yudhiûþhira
sangat sedih atas kematian sahabat dan saudara-saudara tercinta pada perang
Bhàrata dan memilih jalan pintas untuk bunuh diri, Maharûi Vyàsa datang dan
mencegah usaha untuk bunuh diri tersebut (Úàntiparva 27.28). Maharûi Vyàsa
datang mengunjungi åûi Bhìûma yang tidur terlentang di atas tempat tidur dari
ujung panah (Úàntiparva 45.5). Maharûi Vyàsa menasehati Yudhiûþhira untuk
segera menyelenggarakan Upacara Aúvamedhayajña (korban kuda / Aúvamedhikaparva
3.8). Maharûi Vyàsa memberi petunjuk untuk mendatangi Raja Màruta untuk
memperoleh kekayaan ketika perang Bhàrata telah selesai (Aúvamedhikaparva 3.20).
Demikian secara
ringkas riwayat penyusun karya sastra yang sangat mengagumkan, seorang åûi
agung bernama Vyàsa, Vedavyàsa, Kåûóadvaipàyana dan di dalam kitab Brahmasùtra
disebut dengan nama Bàdaràyaóa, dihubungkan dengan nama pertapaan beliau di
Badarikàúrama yang kini dikenal dengan nama Badrinàtha, terletak di lereng atas
pegunungan Himàlaya. Para peserta tìrthayàtra atau para yàtri mengusahakan
selama hidupnya dapat paling tidak mengunjungi 4 tempat suci di pegunungan Himàlaya,
yakni Gaògotrì (hulu sungai Gaògà), Yamunotrì (hulu sungai Yamunà), Kedarnath
(hulu sungai Alakandhà) dan Badrinàtha (pertapaan Maharûi Vyàsa).
Sampai disini dulu yaa.. nanti dilanjut dengan :
Ringkasan Mahabharata Parwa 1. Adiparwa
Ringkasan Mahabharata Parwa 2. Sabhaparwa
Ringkasan Mahabharata Parwa 3. Vanaparva/Aranyakaparva
Ringkasan Mahabharata Parwa 4 - Virata Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 5 - Udyoga Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 6 - Bhisma Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 7 - Drona Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 8 - Karna Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 9 - Salya Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 10 - Sauptika Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 11 - Stri Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 12 - Santi Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 13 - Anusasana Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 14 - Asvamedika Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 15 - Asramawasika Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 16 - Mausala Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 17 - Mahaprasthanika Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 1. Adiparwa
Ringkasan Mahabharata Parwa 2. Sabhaparwa
Ringkasan Mahabharata Parwa 3. Vanaparva/Aranyakaparva
Ringkasan Mahabharata Parwa 4 - Virata Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 5 - Udyoga Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 6 - Bhisma Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 7 - Drona Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 8 - Karna Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 9 - Salya Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 10 - Sauptika Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 11 - Stri Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 12 - Santi Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 13 - Anusasana Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 14 - Asvamedika Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 15 - Asramawasika Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 16 - Mausala Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 17 - Mahaprasthanika Parva
Ringkasan Mahabharata Parwa 18 - Svargarohanika Parva
baca juga cerita-cerita sisipan yang terjadi, antara lain:
Cerita Ringkas Sisipan 1 Dalam Mahabharata (RAJA NAHUÛA)Cerita Ringkas Sisipan 2 Dalam Mahabharata (NALA-DAMAYANTÌ)Cerita Ringkas Sisipan 3 Dalam Mahabharata (SÀVITRÌ DAN SATYAVÀN)Cerita Ringkas Sisipan 4 Dalam Mahabharata (NADÌTAMA GAÒGÀ (KEUTAMAAN SUNGAI GAÒGÀ))Cerita Ringkas Sisipan 5 Dalam Mahabharata (GARUÐA - SI RAJA BURUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar