Selasa, 29 Mei 2012

Cerita Ringkas 2 Sisipan Dalam Mahàbhàrata

Nala-Damayantì

Cerita Raja Nala dan permaisurinya Damayantì merupakan sisipan dalam kitab Mahàbhàrata dan cerita ini sangat populer di kalangan masyarakat. Di dalam kitab Mahàbhàrata (Vanaparva 52-79) dijelaskan Vettam Mani (1989:196-199) sebagai berikut. 
“Ketika masa pengasingan para Pàóðava di tengah hutan. Saat itu Arjuna pergi melakukan pertapaan memuja Dewa Úiva untuk memperoleh anugrah senjata panah yang sakti (panah kedewataan). Saat cukup lama menunggu, para Pàóðava yang lainnya menghadapi berbagai penderitaan dan kesedihan. Mereka semuanya mengalami kesusahan yang luar biasa. Dalam keadaan yang mengenaskan itu, seorang pertapa bernama Båhadaúva mengunjunginya. Pertapa ini disambut dengan penuh hormat oleh Dharmaputra dan adik-adiknya diikuti dengan air mata yang berlinang, mereka sangat menderita di dunia ini. Mendengar hal tersebut pertapa Båhadaúva menghiburnya dengan sebuah cerita yang lebih tragis dari yang dialami oleh para Pàóðava. Diceritakan seorang raja dari Kerajaan Vidarbha bernama Bhìma yang mempunyai seorang putri bernama Damayantì. Pada saat yang hampir bersamaan Raja Vìrasena dari Kerajaan Niûadha mempunyai seorang putra bernama Nala. Putra raja ini sangat akhli bermain judi dadu, namun sangat jujur, dan berbicara benar. Ia cepat berkembang dan menjadi seorang pemuda. Suatu hari seekor angsa yang berasal dari Raja Nala mendatangi istana keputren tempat Damayantì. Angsa itu menyanyikan sebuah lagu yang memuji kemuliaan Raja Nala. Nala juga mengetahui kemuliaan dari Damayantì. Kemudian keduanya jatuh cinta. Nala mendatangi tempat kediaman Damayanti di Kota Kuóðinapurì, ibu kota Kerajaan Vidarbha yang saat itu menyelenggarakan svayaývara (sayembara) untuk meperebutkan Damayantì. Dewa Indra, Agni, Yama, dan Varuóa mendengar kecantikan Damayantì yang luar biasa dari Devarûi Nàrada. Keempat Dewa tersebut juga datang ke ibu kota Vidarbha untuk mengikuti acara sayembara dimaksud. Dalam perjalanan, keempat devatà tersebut bertemu dengan Raja Nala, yang mengetahui bahwa Damayantì hanyamencintai Raja Nala, tidak siapa pun yang lainnya. Para Dewa tersebut menyamar dan mengambil wujud yang sama persis seperti Raja Nala. Saat Raja Nala dan para Dewa yang juga menyerupati Raja Nala tiba ditempat sayembara pemilihan calon suami bagi Damayantì. Damayantì yang sudah menyiapkan kalungan bunga (garland) untuk dikalungkan di leher calon suaminya kebingungan menyaksikan adanya lima wujud yang semuanya sama. Damayantì memohon kepada para devatà supaya berkenan menunjukkan Raja Nala yang sebenarnya. Karena ketulusan hati dan cintanya yang suci kepada Raja Nala, para Dewa memenuhi permintaan Damayantì dan Raja Nala yang asli terlihat oleh Damayantì. Kalungan bunga segera dikalungkan kepadanya. Karena ketulusan hati dan kemurnian cinta pasangan penganten ini, para Dewa menganugrahkan kerunia kepada mereka. Dewa Agni berjanji akan selalu muncul bila Raja Nala memikirkan dirinya. Yama berjanji menuntun pada jalan kebajikan. Varuóa berjanji memberikan air saat Raja Nala memikirkan hal itu, dan Dewa Indra berjanji akan segera menganugrahkan mokûa demikian selesai melakukan yàga (homayajña). Para Dewa menyaksikan acara perkawinan Nala dan Damayantì sampai akhir acara kemudian meninggalkannya ke kahyangan masing-masing. Raja Nala dan permaisurinya, Damayantì tinggal di Kuóðinapurì.

Mendengar telah terjadi perkawinan antara Raja Nala dengan Damayantì melalui sayembara. Dewa Kali dan Dvàpara segera berangkat menuju Kuóðinapurì. Di perjalanan mereka bertemu dengan Dewa Indra dan Dewa-Dewa lainnya yang baru saja kembali dari Kuóðinapurì. Mereka menyampaikan kepada Dewa Kali bahwa Damayanì telah menerima Raja Nala sebagai suaminya dan upacara perkawinan telah dilangsungkan. Dewa Kali dan Dvàpara sangat marah mengetahui hal tersebut dan mereka menyatakan akan menghancurkan Kerajaan Raja Nala. Setelah itu Dewa Kali menunggu kesempatan untuk dapat merasuki tubuh Raja Nala. Suatu hari setelah dua belas tahun perkawinannya, Raja Nala melakukan kekeliruan, yakni tanpa mencuci kaki dan tangan sehabis buang air kecil, ia melakukan pemujaan (sandhyà) pada sore hari. Saat itu Dewa Kali merasuki tubuh Raja Nala. Dengan demikian Raja Nala menjadi orang yang kehilangan akal sehatnya, ia meninggalkan kebajikan, tugas, dan kewajibannya, dan menantang adiknya bernama Puûkara untuk bermain judi dadu. Puûkara setuju dengan ajakan adiknya. Dewa Kali saat itu hadir mengambil wujud sebagai lembu jantan yang dapat menolong Raja Nala. Raja ini kehilangan kerajaannya akibat bermain judi. Mengetahui suaminya terus menerus kalah dalam permainan judiitu, Damayantì mengirim kusir keretanya bernama Vàrûóeya, putra-putrinya Indrasena dan Indrasenà ke Kuóðinapurì. Setelah meninggalkan Kuóðinapurì, Vàrûóeya melanjutkan perjalanan menuju berapa negara dan kemudian sampai di Ayodhyà, kemudian ia menjadi kusir kereta Raja Åtuparóa.

Puûkara telah berhasil mendapatkan kerajaan, kekayaan, dan segala sesuatu milik Raja Nala. Raja Nala kini tidak memiliki apapun kecuali pakaia yang ia kenakan dan meninggalkan istana. Istrinya Damayantì selalu mengikuti kepergian suaminya. Raja Puûkara membuat pengumuman bahwa siapapun tidak boleh menolong Raja Nala, dan bilamana ada yang menolong raja ini akan dikenakan sanksi berupa hukuman mati. Setelah kejadian itu, ia tinggal untuk tiga hari berikutnya di wilayah Kerajaan Vidarbha dengan hanya berbekal air dan sedikit makanan. Kedua suami-istri itukemudian masuk ke dalam hutan untuk mendapatkan sekedar makanan. Mereka kelaparan. Raja Nala melihat beberapa ekor burung berwarna keemasan dan ia bermaksud menangkapnya untuk dijadikan santapan. Ia membuka kainnya dan membentangkannya di tanah. Ternyata beberapa burung itu menarik dan menerbangkan kain tersebut. Burung tersebut adalah burung siluman yang menjadi dadu saat judian berlangsung. Hal itu terjadi karena pengaruh dari Dewa Kali. Dalam kondisi yang mengenaskan itu, Raja Nala meminta istrinya untuk meninggalkan dirinya dan dengan kereta para pedagang diminta untuk kembali ke Avanti untuk menyelamatkan diri. Damayantì menolak keinginan Raja Nala dan tidak ingin berpisah sedetikpun dengan suaminya. Pada malam harinya mereka menginap di sebuah pondok. Karena kelelahan, mereka tertidur nyenyak. Beberpa lama, Raja Nala terbangun dan berpikir sebaiknya istrinya tidak mengukiti dirinya, dengan demikian ia bisa pergi ke negara terdekat untuk menyelamatkan diri. Ia memilih untuk meninggalkan istrinya dengan memotong separo kain istrinya untuk ia gunakan. Ia melihat sebuah pedang dan kemudian memotong kain istrinya ia masih tidur nyenyak di pondok dan meninggalkan tempat itu.

Ketika Damayantì terbangun, ia terkejut karena tidak menjumpai suaminya. Ia memanggil suaminya, menjerit-jerit dan menangis. Ia pergi lebih dalam lagi ke tengah hutan untuk mencari suaminya. Di tengah hutan ia dibelit oleh seekor ular besar, dan saat yang bersamaan seorang pemburu di hutan menemukan Damayantì yang menjerit-jerit. Pemburu tersebut berhasil membunuh ular tersebut dan karena terdorong oleh nafsu birahinya, pemburu itu meminta Damayantì untuk bersedia menjadi istrinya. Damayantì sangat marah, menolak, dan mengutuk pemburu itu, dan tiba-tiba saja pemburu tersebut jatuh dan mati. Setelah peristiwa itu, ia berusaha untuk ke luar hutan, namun sulit menemukan jalan ke luar. Banyak binatang buas dan menakutkan yang ditemukan, namun berhasil menyelamatkan diri. Akhirnya ia menemukan sebuah tebing karang dan duduk di sana, ia meratapi takdir yang menimpa diri dan suaminya.

Saat itu, datang para pedagang membawa gerobak yang diserang oleh gajah liar yangmengikuinya. Mereka kemudian melihat Damayantì. Ia menceritakan kisah hidupnya. Para pedagang itu membawa Damayantì menuju Kerajaan Cedi Di kerajaan itu ia mengembara dan akhirnya dapat bertemu dengan Raja Subàhu. Dikira seorang wanita gila, Damayantì di kelilingi oleh anak-anak jalanan. Permaisuri raja kasihan melihat hal tersebut, dan meminta pengiringnya untuk membawa Damayantì ke istana. Dengan tetap menyembunyikan identitas dirinya sebagai istri Raja Nala, kemudian ia menceritakan segala pengalamannya. Permaisuri raja memberi tahun Damayantì supaya bersedia tinggal di istana sampai ia menemukan suaminya. Damayantì menjawabnya sebagai berikut: “Tuan permaisuri, saya bersedia tinggal di istana dengan beberapa syarat tertentu. Saya hanya bersedia makan sisa-sisa makanan saja. Saya minta tidak seorangpun membasuh kaki saya.Saya tidak bersedia berbicara dengan laki-laki yang tidak ada hubungannya dengan saya. Apabila ada seseorang yang berusaha merayu saya, permaisuri mesti memeritahkan supaya orang yang merayu saya segera dibunuh. Bràhmaóa boleh mengunjungi saya hanya dalam kaitanya memberikan informasi tentang keberadaan suami saya. Ini sumpah dan janji saya”. Permaisuri setuju dengan persyaratan tersebut dan menjadikan pengiring putri raja bernama Sunandà.

Diceritakan kondisi Raja Nala di dalam hutan di wilayah Kerajaan Ayodhyà penuh dengan penderitaan. Saat ia mengembara di tengah hutan, ia menemukan kebakaran , Dari tengah hutan ia mendengar seseorang mamanggil namanya. Ketika Raja Nala mendekati tempat terbakar tersebut, ia melihat raja ular naga terkenal bernama Karkoþaka bergelung di kobaran api tersebut. Suatu hari raja ular naga ini pernah menipu Devarûi Nàrada, yang kemudian mengutuknya bahwa ular ini tidak akan dapat bergerak di suatu tempat seperti sebuah benda yang tidak dapat dipindahkan karena beratnya. Kutukan akan berakhir bila ia bertemu dengan Raja Nala yang datang menolongnya. Sejak saat itu raja ular naga Karkoþaka tidak bisa bergerak di dalam hutan. Kemudia terjadi kebakaran hutan, raja ular ini tidak bisa bergerak dan memanggil nama Raja Nala yang kebutulan berada di dekat kebakaran tersebut. Karena kedatangan dan pertolongan Raja Nala, maka kutukan yang diterima ular tersebut telah berakhir. Karkoþaka meminta supaya Raja Nala pergi ke arah Utara sambil menghitung jumlah langkah kakinya. Saat hitungan ke sepuluh, Karkoþaka menggigit kaki Raja Nala yang mengakibatkan penampilan Raja Nala menjadi sangatjelek. Karkoþaka memberitahu Raja Nala yang dalam keadaan bingung melihat penampilan dirinya; “Jangan cemas. Saya yang menjadikannya anda jelek rupa sehingga seseorang tidak dapat mengenal anda. Anda menjadi buruk rupa akibat racun saya. Racun saya demikian rupa menjadikan anda jelek, karena Dewa Kali masih merasuki tubuh anda. Ia merasuki orang-orang yang tanpa cacat, yang menjadikan anda menderita. Dengan demikian, tidak seorangpun yang akan berbuat jahat dan mengenali anda. Sekarang anda harus segera menuju Kerajaan Ayodhyà dan bertemu dengan Raja Åtuparóa dan katakan padanya bahwa anda bernama Bàhuka yang bersedia menjadi kusir kereta kerajaan. Berikan Raja Åtuparóa ‘Aúvahådayamantra’, dan minta padanya supaya diberikan ‘Akûahådayamantra’. Setelah itu anda akan berjumpa dengan istri dan anak-anak anda. Ini dua pakaian untuk anda. Bila anda ingin dalam wujud anda yang asli kenakan salah satu pakaian itu”. Setelah mengatakan hal tersebut, Karkoþaka memberikan dua pakaian ke-devatà-an dan lenyap seketika.

Raja Nala segera menuju Kerajaan Ayodhyà. Dalam waktu sepuluh hari ia telah sampai di istana Raja Åtuparóa, dan ia memohon perkenan raja supaya diijinkan sebagai penjaga kuda dan dibayar 100 keping emas. Ia tinggal di sana dengan nama Bàhuka. Vàrûóeya dan Jìvala yang juga penjaga kuda Raja Åtuparóa ditempatkan di bawah kepemimpinan Bàhuka. Setiap sore hari ketika Bàhuka telah selesai melakukan kewajibannya, ia melantunkan sebuah syair. “Kelelahan dan dibelit oleh lapar dan haus. Wanita miskin itu, di manakah ia kini berada? Menjadi pelayannya siapakah ia sekarang. Sungguh memikirkan penderitaan karena kebodohan ?”. Mendengar lagu ratapan setiap hari, suatu hari pembantu Jìvala bertanya kepada Bàhuka siapakah yang diratapinya itu. Bàhuka menjawab: “Suatu hari ada seorang laki-laki goblok. Ia memiliki istri yang cantik. Karena sesutu hal ia berpisah dengan istrinya. Si goblok terus mengembara, kelelahan, dan penderitaan mencari istrinya itu?.

Diceritakan kembali keadaan Damayantì yang tinggal di istana Raja Cedi, sebagai pelayan putri raja bernama Sunandà. Raja Bhìma sangat sedih karena tika mengetahui di mana posisi Nala dan Damayantì. Ia mengirim orang-orang untuk mencarinya ke seluruh penjuru untuk menemukan mereka. Raja Bhìma mengumumkan bahwa siapa saja yang menemukan Raja Nala dan Damayantì akan diberikan hadiah yang luar biasa berupa ribuan sapi, memberikan tanah dan desa kepada para Bràhmaóa. Puluhan ribu sapi akan diberikan kepada yang anya memberi informasi tentang keberadaan mereka. Mendengar hal tersebut bebarapa orang Bràhmaóa mendatangi berbagai penjuru, dan salah sorang Bràhmaóa itu bernama Sudeva yang pergi ke Kerajaan Cedi. Ia mudah mengenali Damayantì yang bagaikan nyala api ditutupi asap. Ketika Damayantì sendirian, Bràhmaóa Sudeva mendekatinya dan memberitahu bahwa datang dari Vidarbha dan ia adalah sahabat dari saudara laki-laki Damayantì. Damayantì langsung mengenal Bràhmaóa Sudeva dan menjerit keras. Putri Sunandà menyaksikan peristiwa itu langsung memberi tahu ibu suri tentang hal itu. Permaisuri memanggil Sudeva dan minta penjelasan tentang hal tersebut. Sudeva menjelaskan segalanya yang menimpa diri Damayantì. Ketika semua wanita di istana mendengarkan hal itu, mereka semuanya menangis. Dengan linangan air mata permaisuri berkata: “Dengarkan hal ini, Damayantì, ibu ananda dan aku adalah dua putri Raja Sudama, di Kerajaan Daúàróa. Ayahku mengawinkan ibumu dengan Raja Bhìma, di Kerajaan Vidarbha, sedang ibu sendiri dikawinkan dengan Rajua Vìrabàhu di Kerajaan Cedi. Saya telah melihat ananda ketika ananda masih bayi!”. Ketika Raja Vidarbha telah mengetahui semuanya, ia memerintahkan abdinya untuk menyiapkan sebuah kereta untuk membawa Damayantì ke Kerajaan Vidarbha.

Ketika tiba di Vidarbha, Damayantì menyampaikan kepada ayahda Raja Bhìma bahwa ia tidak bisa hidup tanpa Raja Nala di sampingnya. Raja Bhìma telah memerintahkan untuk mencari Raja Nala. Suatu hari Paróada, salah seorang dari beberapa Bràhmaóa yang ditugaskan mencari Raja Nala memberitahu Raja Bhìma bahwa ketika ia mengembara dari istana ke istana lainnya untuk menemukan Raja Nala, ia sempat bertemu dengan Raja Åtuparóa di istana Kerajaan Ayodhyà, tidak seorang pun yang bisa memberikan informasi tentang keberadaan Raja Nala. “Ketika saya meninggalkan istana, Bàhuka kusir kereta Raja Åtuparóa mengikuti saya. Seorang yang buruk rupa dengan tangannya yang pendek, namun akhli dalam mengendalikan kuda, dan pintar memasak, ia menanyakan beberapa pertanyaan tentang Damayantì”. Ketika Damayantì mendengar hal tersebut, ia segera ingin mengetahui keadaan Raja Nala. Ia secara rahasia segera menemu ibunda ratu dan mendesak supayamengirim Bràhmaóa Sudeva untuk berangkat ke istana Ayodhyà. Sudeva dalam waktu singkat sudah tiba di Ayodhyà dan menyampaikan pesan ibunda ratu bahwa akan dilangsungkan sayembara yang kedua kalinya untuk mengawinkan putri Damayantì yang akan dilangsungkan sebelum matahari terbenam keesokan harinya. Raja Åtuparóa tertarik mengikuti sayembara tersebut dan memerintahkan Bàhuka untuk segera mengambil keretanya untuk berangkat keVidarbha. Segera saja mereka berangkat. Vàrûóeya diikutsetakan dalam kereta. Kereta yang dikendalikan oleh Bàhuka bagaikan terbang di angkasa karena sangat cepat. Di perjalanan, pakaian bagian atas Raja Åtuparóa jatuh ke tanah dan sang raja meminta menghentikan keretanya. Ketika akan mengambil pakaian raja tersebut, sang raja dan kusirnya melihat sebuah pohon yang berdaun dan berbuah lebat benama pohon Tanni (terminalia bellerica). Setelah melihat pohon tersebut, sang raja berkata: “Wahai Bàhuka, bila anda akhli dalam mengendalikan kereta, saya akhli dalam hal menghitung. Saya akan mengatakan berapa jumlah buah dan daun pada pohon Tanni tersebut. Terdapat 500.000 daun pada dua cabang pohon itu dan 2,095 buah pada pohon Tanni itu”. Mereka kemudian turun dari keretanya dan menghitung daun dan buah pohon tersebut. Ternyata yang dikatakan oleh raja tersebut benar. Raja memiliki kemampuan tersebut karena ia memiliki Akûhådaya. Hanya dengan sekali pandang, sang raja sudah mampu menghitung jumlah daun dan buah pada pohon tersebut. Bàhuka mampu mengendalikan kereta dengan kecepatannya yang tinggi karena ia memiliki Aúvahådaya. Keduanya kemudian saling memberikan mantra rahasia tersebut dan dalam waktu singkat Bàhuka sudah menguasai Akûahådayamantra. Kakoþaka menggigit Raja Nala dengan bisanya menjadikan kekuatn Dewa Kali yang merasuki tubuhnya pudar, dan meninggalkan tubuh Raja Nala. Di masa yang silam, ibu dari Indrasena, para Dewa mengutuk Dewa Kali jatuh ke bumi dan marasuki tubuh Raja Nala. Demikian meninggalkan tubuh Raja Nala, Dewa Kali meminta maaf kepadanya. Raja Nala mampu mengendalikan amarahnya. Namun demikian Dewa Kali sangat takut karena kesucian dan ketulusan hati Raja Nala. Dewa Kali memilih untuk tinggal di pohon Tanni, oleh karenanya pohon Tanni menjadi pohon yang menjijikan.

Åtuparóa, Vàrûóeya, dan Bàhuka sampai di istana Kuóðnapura. Ketika suara kereta Raja Nala terdengar oleh telinga Damayantì, maka hatinya diliputi rasa bahagia. Kereta Raja Åtuparóaberhenti di depan istana. Raja Bhìma menyambut tamunya dengan ramah. Ternyata diistana tidak tampak ada perhelatan sayembara seperti diinformaskan, namun Raja Åtuparóa memaklumi trik yang dibuat oleh raja.

Damayantì mengirim pelayannya bernama Keúinì untuk memperhatikan Bàhuka. Keúinì mengadakan pembicaraan rahasia dengan Bàhuka. Walaupun Raja Nala belum memperlihatkan identitas dirinya, ternyata ia menangis ketika ia membicarakan Damayantì. Keúinì kembali menemui, menceritakan kepadanya tentang apa yang telah ia dengar dan lihat. Damayantì semakin yakin bahwa Bàhuka adalah Raja Nala. Ia kembali menugaskan Keúini untuk mengamati Bàhuka. Setelah ia mengamati kembali, ia menemukan fakta-fakta sebagai berikut. (1) Bàhuka tidak pernah berhenti sejenak ketika memasuki sebuah pintu. (2) Ia mudah menemukan ruangan, walaupun di tempat kerumunan orang. (3) Pot yang kosong, hanya dilihat saja oleh Bàhuka seketikaitu menjadi penuh. (5) Api tidak membakarnya, sekalipun ia memegang api tersebut. (6) Ketika ia memetik bunga, maka bunga yang dipetik itu tampak lebih segar dibandingkan sebelum dipetik. Ketika Keúinì menyatakan semua fakta tersebut, Damayantì yakin sepenuhnya bahwa Bàhuka adalah Raja Nala. Damayantì kembali menugaskan Keúinì untuk mengecek kemampuan Bàhuka memasak daging yang dibawa oleh Keúinì. Damayantì mencoba daging yang telah dimasak oleh Bàhuka, ternyata ia paham benar bahwa Bàhuka sesungguhnya adalah Raja Nala. Damayantì kembalii menugaskan Keúinì untuk menemui Bàhuka dengan mengikutkan Indrasena dan Indrasenà. Bàhuka berlarian memeluk kedua anaknya itu, dan menangis sejadi-jadinya. Ia menjelaskan kepada Keúinì bahwa anak-anak itu adalah anak-anaknya.

Setelah melakukan semacam pembuktian bahwa Bàhuka tidak lain adalah Raja Nala. Damayantì menugaskan Keúinì untuk menemui ibunda ratu dan menceritakansemua kejadian itu bahwa Damayantì yakin sepenuhnya bahwa Bàhuka adalah Raja Nala. Damayantì meminta ijin kepada kedua orang tuanya untuk menemui Bàhuka. Bàhuka kemudian diantar masuk ke tempat Damayantì. Demikian melihat Damayatì, Bàhuka langsung menangis berlinang air mata. Demikian pula halnya Damayatì dengan berlinang air mata ia berkata: “Bàhuka, apakah anda melihat seseorang yang meninggalkan istrinya dalam keadaan tidur di tengah hutan? Siapa dia, kecuali Raja Nala yang sangat terkenal dan memiliki kebajikan yang akan membuang istrinya dalam keadaan tidur nyenyak, yang cintanya murni kepada suaminya, yang kelelahan dan kelaparan sendirian di tempat yang sepi? Apakah saya telah melakukan kesalahan kepadanya pada hari-hari sebelumnya sehingga meninggalkan saya di hutan ketika saya sedang tidur. Ditinggal oleh suami yang saya yakini sebagai Dewa, yang saya puja, saya memiliki anak dari darah dagingnya, dan sekarang meninggalkan saya. Di hadapan para Dewa dan Dewa Agni sebagai saksi , ia memegang tangan saya dan berjanji akan memberikan dukungan dan perlindungan kepada saya. Kemanakah sumpah dan janji perkawinan itu lenyap?”. Mendengarkan hal tersebut Bàhuka berlinang air mata dan mengatakan bahwa ia pun menangis penuh penyesalan sepanjang waktu. Kemudian ia menceritakan segala yang telah dialaminya, termasuk juga pemahamannya yang keliru mendengar adanya sayembara yang kedua kalinya bagi Damayantì. Damayantì mengatakan ia tidak pernah akan melakukan sayembara perkawinan yang kedua kalinya, ia tidak pernah memikirkan laki-laki lain, dan tetap menjaga kesucian dirinya. Saat itu Dewa Vàyu (Dewa Angin) bersabda dari angkasa: “Damayantì tidak pernah melakukan dosa”. Tiba-tiba Raja Nala mengenakan pakaian ke-devatà-an yang diberikan oleh Raja Ular Karkoþaka, dan kembali kepada wujud aslinya. Damayantì langsung memeluk Raja Nala dengan menangis keras. Raja, ayahandanya, ibundanya, dan semua orang-orang di istana berlarian mendatanginya. Selanjutnya keesokan harinya Åtuparóa kembali ke Ayodhyà. Setelah beberaa hari Raja Nala mengumpulkan tentaranya yang berjumlah 300 orang, 16 pasukan gajah, 50 pasukan berkuda, dan sebuah kereta berwarna putih, berangkat dari Vidarbha menuju Niûadha Setibanya di istana Niûadha, Raja Nala menantang Puûkara untuk bermain judi. Puûkara menolak tantangan itu. Raja Nala mengambil pedangnya dan mengancam membunuh dan mencincang Puûkara menjadi dua bagian. Akhinya Puûkara setuju untuk bermain judi. Dalam waktu singkat Raja Nala berhasil mengembalikan kerajaan dan seluruh kekayaannya. Namun Raja Nala tidak membunuh Puûkara, sebaliknya ia memeluk Puûkara. Nala kembali menjadi raja. Damayantì dan putra-putrinya sampai di istana Niûadha, Raja Nala memerintah kerajaan jauh lebih sejahtra dan bahagia dibandingkan sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar