Jumat, 01 Juni 2012

Cerita Ringkas 4 Sisipan Dalam Mahabharata

Nadìtama Gaògà (Keutamaan Sungai Gaògà)

Sungai Gaògà sebagai Nadìtama, sungai yang utama dan diyakini sangat suci dan sangat terkenal, sudah disebutkan di dalam kitab suci Veda, kitab-kitab Puràóa dan Itihàsa, yakni Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata. 
Berikut dikutipkan tentang keutamaan sungai Gaògà tersebut (Mani, 1989:276-279). 

(1) Asal muasal dan informasi umum
  • Di dalam Bhàgavata Puràóa (Pañcama Skandha, 17) disebutkan bahwa asal Dewi Gaògà (dewi sungai Gaòga) dimulai ketika Viûóu turun ke bumi dalam inkarnasinya sebagai Vàmana. 
  • Ketika Vàmana mengukur jagat raya melalui tiga langkahnya, kuku jari kaki kirinya terangkat tinggi yang menyebabkan terjadi lubang pada bagian atas jagat raya ini. 
  • Gaògà mulai mengalir dari jari-jari kaki Viûóu mengalir di Kahyangan. 
  • Sungai suci Gaògà dikenal pula dengan nama Tìrtha Viûóupadì (air suci sungai dari kaki Viûóu) yang menyucikan semua dosa umat manusia di jagat raya. 
  • Beberapa Yuga (masa) sungai suci ini mengalir di angkasa, oleh karenanya disebut Viûóupada. 
  • Tempat mengalirnya di angkasa disebut Dhruvamaóðala dan di tempat ini Raja Dhruva, putra Raja Uttànapàda melaksanakan tapa. 
  • Sapta Åûi secara rutin berkeliling di Dhruvamaóðala mandi menyucikan diri di sungai suci ini. 
  • Oleh karena sungai ini mengalir di Viûóupada dan percikannya berbentuk vimàóa yang jumlahnya puluhan ribu dan kemudian turun dan menyatu menjadi Candramaóðala. 
  • Selanjutnya sungai suci mengalir menjadi empat aliran besar masing-masing disebut Sìtà, Cakûù, Alakanandà, dan Bhadrà turun di Bramaloka, selanjutnya dari tempat ini mengalir ke segala penjuru. 
  • Sungai Sìtà mengalir di puncak Gunung Meru, selanjutnya mengalir ke wilayah Gandhamàdana, dan mengaliri wilayah Bhadràúvavarsa kemudian menuju laut di sebelah timur. 
  • Sungai Cakûù mengalir di puncak Gunung Màlyavàn dan mengaliri wilayah Ketumàla dan menuju laut di sebelah barat. 
  • Alakanandà mengaliri puncak Gunung Hemakùþa, mengaliri wilayah Bhàratavarsa, dan menuju laut di sebelah selatan. 
  • Sungai Bhadrà mengaliri puncak Gunung Úåògavàn mengaliri wilayah Uttaràkuru, menuju laut di sebelah utara. 
  • Sungai Alakanandà yang mengaliri wilayah Bhàratavarsa diyakini paling suci di antara empat aliran Sungai Gaògà tersebut. 
  • Sungai ini mengalir ke bumi sejak ribuan tahun, sesudah cukup lama mengalir di angkasa.

(2) Dewi Gaògà menjadi sakti Dewa Śiva
  • Mahàviûóu asyik di Vaikuóþha dalam sebuah percakapan yang menyenangkan dengan para saktinya, yaitu Lakûmì, Sarasvatì, dan Gaògà, saat itu Gaògà sangat terdorong nafsunya oleh pandangan mata Mahàviûóu, yang kemudian di belakang kedua sakti lainnya kembali memandangnya dengan bernafsu. 
  • Sarasvatì tidak tahan menghadapi situasi yang demikian cukup lama. Oleh karena itu ia meninggalkan singasananya dan memukul Dewi Gaògà. 
  • Lakûmì berusaha menenangkan Sarasvatì. Dewi Sarasvati sangat marah dan tidak menerima hal itu selanjutnya mengutuk Dewi Lakûmì untuk turun ke bumi. 
  • Gaògà sangat marah karena Lakûmì yang tidak bersalah mendapat kutukan, sebaliknya ia mengutuk Sarasvatì supaya turun dan menjadi sungai di bumi. 
  • Sarasvatì juga mengutuk Gaògà supaya menjadi sungai di bumi dan mendapat tugas untuk menyucikan segala dosa yang ada di bumi. 
  • Ketika semua sakti Mahàviûóu menghadapi hal tersebut, Mahàviûóu bersabda: “Segala sesuatunya telah terjadi dan terjadilah”

(3) Turunnya Gaògà ke bumi
  • Raja Mahàbhiûaka, dari dinasti Sùryavaýúa pergi ke Satyaloka setelah sampai di sorga untuk memuja Brahmà. 
  • Dewi Gaògà juga berada di sana. Saat itu bertiup angin segar dan kencang yang mengakibatkan kain penutup paha Dewi Gaògà terssingkap. 
  • Mahàbhiûaka menyaksikan hal tersebut penuh dorongan nafsu, dan hal itu diketahui oleh Brahmà yang marah dan mengutuknya untuk segera turun dan menjelma ke bumi menjadi seorang raja dan menjadikan Gaògà sebagai istrinya. 
  • Gaògà memohon pengampunan supaya kutukan itu segera berakhir, dan Brahmà mengatakan ia akan kembali ke sorga setelah melahirkan Aûþavasu. 
  • Sebagai akibat dari kutukan itu Raja Mahàbhiûaka menjelma menjadi Raja Úantanu dalam dinasti Sùryavaýúa dan mengawini Dewi Gaògà (Àdiparva 96 dan 97).

(4) Bhagìratha memohon Gaògà turun ke bumi
  • Raja Sagara dari dinasti Sùryavaýúa mempunyai dua orang istri masing-masing bernama Sumatì (Vaidarbhì) dan Keúinì (Úaibyà). 
  • Keúinì melahirkan putra bernama Asamajñasa, dan dari Sumatì lahir 60.000 putra. 
  • Raja Sagara membuang putranya Asamajñasa ke luar kerajaan, dan kemudian ia menjadi musuh umat manusia. 
  • Putra raja lainnya (sebanyak 60.000) juga mengancam dunia. 
  • Para Dewa menghadap Brahmà untuk mohon perlindungan dari ancaman tersebut. 
  • Brahmà memberi jaminan untuk menyelamatkan para Dewa dan umat manusia, dan Maharûi Kapila akan menghancurkan putra-putra Raja Sagara yang jahat tersebut. 
  • Pada masa itu Raja Sagara melaksanakan upacara Aúvamedhayajña, putra-putra raja pergi ke seluruh penjuru dunia mengikuti kuda yang dijadikan korban. 
  • Ketika kuda tersebut tiba di tepi pantai, kuda tersebut lenyap. 
  • Ketika putra-putranya raja itu melaporkan tentang hilangnya kuda tersebut, Raja Sagara memerintahkan mencarinya ke seluruh belahan dunia dan harus berhasil membawanya kembali pulang. 
  • Namun tidak ditemukan di berbagai belahan dunia, kemudian mereka menggali lubang untuk sampai ke Pàtàla, ketika itu mereka melihat Maharûi Kapila sedang dalam keadaan bermeditasi (Monabrata), dan kuda upacara korban terikat pada sebuah tiang di dekat Maharûi ini. 
  • Dewa Indra yang melarikan kuda tersebut dan mengikatnya di dekat pertapaan Maharûi Kapila. 
  • Putra-putra Raja Sagara yakin bahwa Maharûi inilah yang mencurio kuda tersebut dan membunuh Maharûi Kapila yang saat itu baru menyelesaikan meditasinya. 
  • Semua putra raja Sagara mati terbakar oleh api kemarahan Maharûi yang ke luar dari kedua bola matanya. 
  • Putra-putra raja tidak kembali dalam waktu yang cukup lama. 
  • Raja Sagara memerintahkan cucunya bernama Aýúuman untuk menemukan kuda tersebut. 
  • Aýúuman pergi menuju Pàtàla dan menghadap dengan kerendahan hati dan memohon ampun atas kesalahan leluhurnya. 
  • Maharûi Kapila merakhmati permohonan cucu Raja Sagara dan menyatakan bahwa putra-putra Raja Sagara yang berdosa dan terbakar menjadi abu tersebut akan memperoleh penyucian bila Raja Aýúman mampu memohon kesediaan Dewi Gaògà di sorga untuk berkenan turun ke bumi. 
  • Air suci Gaògà tersebut dapat menyucikan leluhur mereka. 
  • Raja Aýúuman kembali ke istana dengan kuda upacara korban tersebut, dan upacara Aúvamedhayajña tersebut berakhir. 
  • Dari Aýúuman lahir Raja Dilìpa, dan dari raja ini lahir Raja Bhagìratha. 
  • Ketika Raja Bhagìratha memerintah, ia menyerahkan kekuasaannya kepada para menterinya, dan ia berusaha untuk memohon kesediaan Dewi Gaògà turun ke bumi. 
  • Raja Bhagìrtha melakukan tapa selama seribu tahun di lereng Gunung Himalaya. 
  • Dewi Gaògà berkenan turun ke bumi asal Dewa Úiva berkenan menjadi penyangga pertama, untuk mencegah bumi jangan terperosok oleh deras curahannya Sungai Gaògà dari kahyangan. 
  • Bhagìratha melakukan tapa untuk memohon perkenan Dewa Úiva, dan Dewa Úiva dengan senang mengabulkan permohonan Bhagìratha. 
  • Diiringi suaranya yang gemuruh air suci Gaògà turun dari kahyangan dan langsung disangga dengan kepala oleh Dewa Úiva. 
  • Dengan kekuatannya yang dahsyat Dewi Gaògà ingin menerobos Pàtàla. 
  • Dewa Úiva membendung hal tersebut. 
  • Raja Aýúuman kembali bertapa memohon perkenan Dewa Úiva untuk berkenan menggoyangkan rambutnya guna menurunkan sebagian dari air suci Gaògà mengalir ke bumi. 
  • Sungai suci Gaògà mengalir ke Bindusara selanjutnya menyebar dalam tujuah aliran sungai (Sapta Gaògà). 
  • Tiga aliran sungai yang pertama, yakni: Hlàdinì, Pàvanì, dan Nalinì mengalir menuju arah timur, tiga sungai berikutnya: Sucakûù, Sìtà, dan Sindhù mengalir menuju arah barat. Sungai yang ketujuh mengikuti arah Raja Bhagìratha. 
  • Dalam para itu sungai ini mengaliri pertapaan Maharûi Jahnu dengan suara alirannya yang gemuruh. 
  • Maharûi Jahnu sangat marah dan meminum aliran sungai ini. 
  • Raja Bhagìratha memohon perkenan Maharûi Jahnu untuk dapat mengeluarkan aliran sungai tersebut. 
  • Maharûi Jahnu berkenan dengan permohan tersebut, dan aliran Sungai Gaògà ke luar dari lobang telinga Maharûi ini. 
  • Oleh karena itu aliran sungai ini juga bernama Jàhnavi. 
  • Gaògà selanjutnya mengikuti Raja Bhagìratha menuju Pàtàla dan akibatnya seluruh roh putra-putra Raja Sagara disucikan dan semuanya memperoleh keselamatan dan mencapai sorga berkat kesucian Sungai Gaògà (Vàl.Ràm I.43-44; Brahmàóða Puràóa 97; Devì Bhàgavata Puràóa 2; Àraóyakaparva 109; Droóaparva 60; dan Anuúàsanaparva 4).

(5) Gaògà mengalir ke laut
Setelah menyucikan roh putra-putra Raja Sagara, Raja Bhagìratha mengantarkan Gaògà menuju laut, sejak saat itu lautan penuh beisi air. (Àraóyakaparva 109.18-21). 

(6) Gaògà duduk pada paha Pratìpa
  • Gaògà jatuh cinta kepada Pratìpa (ayahda Raja Úantanu), dan ia duduk pada paha sebelah kanan Pratìpa ketika Maharûi melakukan tapa di tepi sungai Gaògà untuk kesejahteraan putranya. 
  • Pratìpa tidak berkenan dengan permintaan Gaògà untuk menjadi istrinya, dan berkata kepadanya: “Paha kanan adalah untuk anak-anak dan menantu perempuan, sedang paha kiri adalah untuk istri; oleh karena itu anda akan menjadi istri dari anak saya!”. 
  • Kemudian Pratìpa memanggil putranya Úantanu dan berkata: “Suatu hari seorang wanita kedewataan datang kepadaku dan ayah berjanji mengawinkannya denganmu. 
  • Dan bila wanita kedewataan datang menghampirimu untuk mendapatkan putra-putra dari kamu, kamu hendaknya menerimanya dan apapun yang dia minta hendaknya jangan dihalanginya!” 
  • Tidak lama setelah peristiwa itu Pratìpa menobatkan Úantanu sebagai raja, dan ia meninggalkannya menuju hutan (Àdiparva 97).

(7) Aûþavasu dan Gaògà
  • Suatu hari ketika istri Dyau (salah seorang dari delapan Vasu) berjalan-jalan di hutan, ia melihat Nandinì (lembu kahyangan) yang sedang merumput dengan anaknya di dekat àúrama Maharûi Vasiûþha dan ia merindukan untuk memiliki lembu tersebut untuk diperlihatkan kepada temannya bernama Jitavatì, putri dari Raja Uúìnara. 
  • Ia memberitahu suaminya Dyau tentang keinginannya memiliki lembu tersebut. 
  • Dyau memberi tahu teman-temannya tentang hal tersebut. 
  • Suatu hari, ketika Maharûi Vasiûþha tidak ada di àúramanya, para Vasu mencuri lembu beserta anaknya. 
  • Ketika Maharûi Vasiûþha kembali ke pertapaannya, ternyata lembu dengan anaknya telah hilang. 
  • Berkat kemampuan mata bathinnya, ia mengetahui siapa yang mencuri lembu tersebut. 
  • Ia mengutuk para Vasu itu untuk menjelma menjadi manusia ke bumi, dan ketika para Vasu tersebut memohon pengampunan, dan Maharûi Vasiûþha mengatakan bahwa ia akan lahir sebagai manusia hanya dalam waktu setahun, kemudian mati, dan kembali ke sorga. 
  • Saat itu pula Maharûi Vasiûþha mengatakan hanya Dyau saja yang akan lama menjelma sebagai manusia, karena ia yang memimpin rencana pencurian lembu tersebut. 
  • Ia akan hidup cukup lama sebelum kembali ke sorga. (Dyau kemudian menjelma menjadi Bhìûma). 
  • Aûþavasu kemudian menjelma sebagai manusia dan menjadikan Gaògà sebagai ibunya. 
  • Gaògà juga menjelaskan tentang kutukan yang dialaminya, dan mengijinkan para Vasu tersebut lahir dari rahimnya. (Àdiparva 99).

 (8) Gaògà menjadi suami Úantanu dan melahirkan Aûþavasu
  • Suatu hari ketika Raja Úantanu berburu di hutan di tepi sungai Gaògà, ia melihat seorang gadis luar biasa cantiknya dan mereka keduanya saling jatuh cinta. 
  • Gadis tersebut adalah Dewi Gaògà. Dewi ini bersedia menjadi istri Raja Úantanu dengan sebuah syarat sang raja tidak boleh menghalangi apapun yang ia lakukan. 
  • Úantanu setuju dengan persyaratan itu. 
  • Dalam waktu singkat ketika Gaògà melahirkan, ia membuang bayinya ke Sungai Gaògà. 
  • Hal tersebut dilakukan terus sampai tujuh bayi dari Aûþavasu yang telah lahir masing-masing satu-persatu dibuang ke Sungai Gaògà. 
  • Ketika ia melahirkan bayi yang kedelapan (Dyau), tindakan tersebut dicegah oleh Raja Úantanu. 
  • Ia sangat marah dan menghilang bersama bayinya (Àdiparva 98).
  • Tiga puluh dua tahun lewat, ketika Raja Úantanu berburu ke hutan di tepi Sungai Gaògà. 
  • Ia melihat seorang anak yang tampan yang dengan panahnya mampu membendung aliran Sungai Gaògà. 
  • Raja Úantanu tidak mengenal putranya itu, yang bernama Devavrata. 
  • Devavrata menghilang kembali setelah dia memperlihatkan dirinya sepintas di hadapan Raja Úantanu. 
  • Hal ini disebabkan karena Devavrata memiliki kemampuan magis untuk hal itu. 
  • Ketika menyaksikan kejadian itu, Úantanu kebingungan apakah anak tersebut adalah anaknya sendiri, dan Úantanu memanggil Dewi Gaògà dari tepi sungai. 
  • Dewi Gaògà muncul dengan putranya yang tampan yang mengenakan perhiasan dan berkata kepada Raja Úantanu: “Ini adalah Devavrata, delapan anak yang telah saya lahirkan. 
  • Ia telah menguasai berbagai ilmu memanah yang ia pelajari dari Maharûi Vasiûþha, dan ia adalah Dyau (pemimpin para Vasu), putra Aògirasa. 
  • Anda boleh mengambilnya”. Setelah mengatakan hal tersebut, Dewi Gaògà kembali ke kahyangan. (Àdiparva 100).

(9) Keagungan dan kesucian Gaògà
  • Di dalam kitab Anuúàsanaparva (26) diuraikan tentang keagungan dan kemuliaan air suci Gaògà. 
  • Bila seseorang meninggal dunia dan kemudian jenasahnya dibakar. 
  • Tulang-tulang sisa jenasah yang terbakar tersebut dihanyutkan di Sungai Gaògà, maka roh orang yang meninggal dunia tersebut akan mencapai sorga. 
  • Walaupun seseorang selama hidupnya berbuat dosa, ia akan mencapai Viûóupàda (Kahyangan Dewa Viûóu). 
  • Mandi di Sungai Gaògà memperoleh pahala sama dengan melakukan seratus kali upacara Yajña (Agnihotra). 
  • Selama tulang-tulangnya masih menyatu di dalam air Sungai Gaògà selama itu ia akan memperoleh tempat duduk di kahyangan. 
  • Ia yang mencuci muka, mandi atau bersentuhan dengan air suci ini akan bercahaya seperti matahari melenyapkan kegelapan. 
  • Tempat-tempat yang tidak diperciki air suci Gaògà akan menjadi kering dan gundul seperti malam tanpa bulan, dan pohon-pohonan tanpa bunga. 
  • Air suci Gaògà memberi kepuasan lebih dari semestinya kepada makhluk hidup di tiga jagat raya. 
  • Ia yang melakukan tapa dengan berdiri di atas satu kaki selama seribu tahun dengan mereka yang menceburkan diri di Sungai Gaògà pahala sama satu dengan yang lainnya. 
  • Tuhan Yang Maha Esa menyatakan lebih penting menyelam di Sungai Gaògà dibandingkan dengan mereka yang melakukan tapa dengan manggantungkan kepala selama seribu tahun. 
  • Ia yang melumuri tubuhnya dengan pasir tepi Sungai Gaògà akan memperoleh cahaya para Dewa, dan ia yang melumuri kepala dengan pasir tepi sungai tersebut, akan bercahaya terus seperti cahaya matahari. 
  • Segala dosa yang dilakukan oleh seseorang bila ia berkenan menceburkan dirinya di Sungai Gaògà, semua dosanya itu akan dihapus dan disucikan oleh kesucian air ini. 
  • Gaògà akan dikenal sebagai air suci yang menyucikan semua dosa dan menyucikan mereka yang tidak kekal (makhluk hidup) di dunia ini.
  • Di kitab Agni Puràóa (110) dinyatakan bahwa kemana pun Sungai Gaògà mengalir, maka tempat yang dialirinya itu berubah menjadi suci. 
  • Gaògà merupakan tempat perlindungan bagi semua makhluk yang menginginkan mencapai tujuan yang baik. 
  • Bila Gaògà dipuja setiap hari akan menyelamatkan kelurga baik dari pihak suami (laki-laki) maupun istri (pihak perempuan). 
  • Minum air suci Gaògà lebih baik pahalanya dibandingkan dengan melakukan tapa selama seribu bulan. 
  • Bila seseorang memuja selama sebulan, seseorang akan memperoleh pahala segala Yajña. 
  • Demikian pula bagi orang yang buta (bodoh) yang memuja Dewi Gaògà akan memperoleh pahala seimbang dengan para Dewa. 
  • Melihat Sungai Gaògà, bersentuhan dengan air suci Gaògà, dan meminum airnya akan menyucikan seribu dan bahkan puluhan ribu orang. 
  • Di dalam Devì Bhàgavata (9) disebutkan Gaògà adalah Ràdhà dan Kåûóa menyerapi seluruh air. 
  • Suatu hari di Ràdhà mencoba minum air sungai Gaògà Úrì Kåûóa, dan ternyata seluruh dunia kekuaranga air. 
  • Úrì Kåûóa mengetahui hal itu dan membuat Gaògà supaya muncul kembali.

(10) Simbol, vahana, dan nama-nama lain Gaògà
  • Dewi Gaògà digambarkan berwarna putih, duduk di atas sekor makara (sejenis udang sakral) yang masing-masing tangannya membawa kendi Amåtà dan bunga padma (Agni Puràóa 50). 
  • Nama-nama lain Dewi Gaògà adalah: Àkàúagaògà, Bhagìrathasutà, Bhàgìrathì, Úilaràjasutà, Úaivasutà, Devanadì, Haimavatì, Jàhnavì, Jahnukanyà, Samudramahiûì, Tripathagà, Tripathagàminì. 
  • Nama-nama lainnya di dalam Amarakoûa adalah: Gaògà viûóupàdi jahnutanayà suranimnagà, Bhàgìrathì tripathagà triúrotà Bìûmasùrapi. (Gaògà, Viûóupàdi, Jahnayutanayà, suranimnagà, Bhàgìrathì Tripathagà Triúrotà dan Bìûmasù) (Mani, 1989:276-278)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar