Rabu, 30 Mei 2012

Cerita Ringkas 3 Sisipan Dalam Mahabharata

Sàvitrì dan Satyavàn

Cerita sisipan lainnya yang sangat populer di dalam Mahàbhàrata adalah cerita Sàvitrì dan Satyavàn. 
Cerita ini ditemukan dalam Devì Bhàgavata, Skandha 9 dan Vanaparva 293-299 (Mani, 1989:713-714) sebagai berikut.

Cerita ini sangat terkenal di dalam kitab-kitab Puràóa. Adalah seorang raja yang sangat terkenal dari Kerajaan Madra, bernama Aúvapati. Istrinya bernama Màlatì. Walaupun kedua suami-istri ini sudah semakin tua, namun belum juga memiliki putra. Akhirnya ia sepakat untuk memuja Dewi Sàvitrì. Setelah ia melakukan pemujaan dan tapa brata selama 18 tahun, Dewi Sàvitrì tampak di hadapan mereka dan menyatakan bahwa seorang anak perempuan akan lahir dari suami-istri ini. Tiada beberapa lama, Màlatì melahirkan seorang anak perempuan diberi nama Sàvitrì. Sàvitrì tumbuh dan cepat menjadi seorang gadis yang cantik, bagaikan Dewi Lakûmì menjelma menjadi bidadari yang sangat cantik, Namun tidak seorang pun laki-laki yang datang untuk melamarnya. 

Sang raja sangat menyesal dan sedih. Pada waktu awal masa paro terang (di Bali disebut pananggal) Sàvitrì menyucikan diri dan menghadap seorang pandita untuk mendapat restunya. Demikian pula ia menghadap baginda raja, bersujud di hadapannya untuk memohon restu kepadanya. Sang raja menasehati putrinya untuk melakukan perjalanan ke luar negeri untuk menemukan pilihan hati sebagai suaminya. Sesuai dengan permintaan baginda raja ia meminta seorang menteri senior untuk mendampinginya dalam melakukan perjalanan untuk mengunjungi beberapa pertapa di dalam hutan.

Suatu hari Devarûi Nàrada mengunjungi istana dan berbincang-bincang dengan Raja Aúvapati, saat itu Sàvitrì dan menteri seniornya telah kembali dari pertapaan. Sàvitrì bersujud kehadapan baginda raja dan Devarûi Nàrada. Demikian Devarûi Nàrada melihat Sàvitrì, langsung saja ia ingin mengetahui tentang rencana perkawinan dari putri ini. Baginda raja mejawabnya bahwa ia telah menugaskan untuk melakukan perjalanan untuk mendapatkan calon suaminya. Sàvitrì menjawab: “Saya telah mendapatkan Raja Satyavàn sebagai calon suami saya. Ia adalah putra Raja Dyumatsena dari Kerajaan Sàlva. Dyumatsena menjadi buta ketika umurnya semakin tua, dan dalam kesempatan itu musuh menangkapnya dan mengambil kerajaannya. Raja Dyumatsena, permaisuri, dan putranya kini tinggal hutan”.

Devarûi Nàrada menjelaskan karakter dari Satyavàn. “Satyavàn bercahaya bagaikan matahari, cerdas dan bijaksana bagaikan Båhaspati, gagah berani bagaikan Dewa Indra, dan cinta kasihnya bagaikan Ibu Pertiwi”. Raja Aúvapati sangat bahagia mendengarkan karakter Satyavàn, apakah ada sesuatu lagi yang perlu dijelaskan tentang diri Satyavàn. Devarûi Nàrada menyatakan bahwa: “Dalam waktu setahun sejak perkawinannya Satyavàn akan meninggal dunia”.

Raja Aúvapati sangat sedih mendengarkan hal tersebut. Sàvitrì menyatakan bahwa ia telah menerima Satyavàn sebagai calon suaminya dan ia tidak dapat dipisahkan dengan keputusan yang telah diambilnya, dan akan berjuang supaya umurnya lebih panjang dari setahun itu. Baginda raja mendukung keputusan putrinya dan persiapan untuk menyelenggarakan upacara perkawinan segera dimulai. Baginda raja dan Sàvitrì pergi ke hutan dan menemukan Raja Dyumatsena yang sangat gembira mendukung rencana perkawinan tersebut. Raja Aúvapati kembali ke keraton dan meninggalkan Sàvitrì dengan Satyavàn dan orang tuanya. Segera setelah Raja Aúvapati meninggalkan hutan, Sàvitrì langsung membuang perhiasannya dan mengenakan pakaian seperti layaknya tinggal di hutan dan hidup bersama Satyavàn dan kedua orang tuanya.

Peristiwa itu sudah mendekati setahun dan hari kematian Satyavàn sudah semakin dekat. Tinggal hanya lagi empat hari saja. Sàvitrì melakukan puasa untuk tiga hari berikutnya. Raja Dyumatsena meminta Sàvitrì supaya jangan melakukan hal itu, namun Sàvitrì telah berhasil melakukan puasanya. Tinggal waktu semalam saja. Ia melek semalam suntuk, keesokan paginya tiba. Walaupun ia telah mengakhiri puasanya, namun ia tetap tidak menikmati makanan apapun. Dengan rendah hati mengatakan bahwa ia akan menikmati makanan setelah matahari terbenam.

Seperti biasanya, Satyavàn mengambil kapaknya dan pergi ke hutan untuk mencari kayu api. Sàvitrì juga ikut serta. Satyavàn berkata: “Istiku, engkau tidak pernah mengikuti aku sebelumnya?. Di samping itu engkau terlalu lelah karena melakukan puasa berturut-turut beberapa hari. Bagaimana engkau bisa mengikuti aku ke hutan”. Sàvitrì berkata: “Saya tidak sepenuhnya lemah karena puasa dan melakukan tapa brata. Saya ini menyertai kakanda. Saya mohon jangan halangi keinginan saya”. Akhirnya Satyavàn memenuhi keinginan istrinya setelah mendapatkan ijin dari kedua orang tuanya. 

Keduanya pergi ke tengah hutan untuk mengumpulkan buah-buahan dan umbi-umbian. Selanjutnya Satyavàn mulai menebang pohon untuk kayu api. Tiba-tiba saja keringat mengucur dari seluruh tubuh Satyavàn, dan kepala mulai terasa pening. “Terlentangkan saya di tanah!”. Demikian kata-kata Satyavàn. Kapaknyajatuh dari tangannya. Sàvitrì segera memegang dan memangku tubuh suaminya. Sàvitrì menyaksikan seseorang dengan tubuh tinggi besar mengenakan pakaian warna merah darah, dengan matanya yang merah, dan membawa seutas tali mendekatinya. Ia tiba dalam jarak yang sangat dekat dan berdiri menyaksikan tubuh Satyavàn. Sàvitrì berdiri dan bersujud di hadapannya. Sàvitrì berkata: “Dewa siapakah anda?”. Yama bersabda: “Wahai Sàvitrì. 

Sebagai seorang pertapa wanita yang penuh kejujuran, Saya mendatangimu. Saya Dewa Yama. Saya datang kemari untuk menjemput roh suamimu!”. Sàvitrì menjawab: “Hamba mendengar yang selalu mencabut roh seseorang adalah para pengiring atau utusan Tuanku, kenapa Tuanku sendiri yang langsung menjemputnya hari ini?”. Yama: “Satyavàn ini memiliki kebajikan yang tinggi, yang merupakan samudra dari perilaku dan karakter yang mulia. Aku tidak mengirim utusanku dalam kasus ini. Aku sendiri yang menjemput orang yang seperti dia!”. Demikian kata-kata Dewa Yama segera saja mengambil nyawa Satyavàn, mengikatnya dan mengeluarkan dari tubuhnya. Sàvitrì melihat tubuh suaminya terbujur kaku tanpa nyawa. Sàvitrì mengikuti Dewa Yama yang pergi menuju arah Selatan dengan membawa roh Satyavàn. Yama: “Sàvitrì, engkau kembali dan lakukan upacara pembakaran jenasah suami anda atau engkau akan mengikuti terus roh suamimu sepanjang yang engkau mampu!”. Sàvitrì: “Hamba akan mengikuti terus sampai di mana roh suamiku dibawa. Hal ini merupakan tugas dan kewajiban seorang istri. 

Kesukaran apakah yang mesti hamba hadapi untuk mengikuti Tuanku. Hamba memilki pahala dari tapa brata yang hamba lakukan, bakti hamba kepada yang lebih tua, cinta yang murni dan hormat yang tulus kepada suami hamba dan kemurahan hati Tuanku”. Menghadapi situasi yang demikian itu, Dewa Yama kesulitan untuk mengembalikan Sàvitrì, dan meminta kepada Sàvitrì untuk mengajukan beberapa permintaan, dan Dewa Yama akan menganugrahkannya, kecuali satu yakni jangan meminta Satyavàn dihidupkan kembali. Permohonan Sàvitrì antara lain, supaya mata yang buta milik Raja Dyutmasena segera kembali dan dapat melihat dengan normal. Dewa Yama memenuhi permintaan tersebut. Sàvitrì belum juga bersedia kembali. 

Dewa Yama mengijinkan satu permintaan lagi. Sàvitrì memohon supaya kerajaan Raja Dyumatsena yang dirampas musuhnya supaya dikembalikan lagi. Dewa Yama memenuhi pula permintaan tersebut. Namun demikian Sàvitrì tetap saja tidak bersedia kembali. Dewa Yama mengijinkan permohonan yang ketiga lagi. Ia memohon: “Saya memohon anugrahkanlah kepada kami seratus anak untuk meneruskan garis keluarga!”. Dewa Yama memenuhi permohonan tersebut. Tetap saja Sàvitrì mengikuti Dewa Yama. Dewa Yama mengijinkan satu pertanyaan lagi sebagai pertanyaan yang keempat. Sàvitrì berkata: “Anugrahkanlah kepada saya seratus anak yang langsung lahir dari Satyavàn!”. 

Dewa Yama memenuhi permohonan tersebut. Kemudian Sàvitrì menanyakan bagaimana mungkin merealisasikan permohonan tersebut tanpa menghidupkan Satyavàn. Dewa Yama sangat senang dengan ketulusan dan kecintaan Sàvitrì kepada suaminya dengan menghidupkan kembali Satyavàn. Dewa Yama memberi anugrah pula bahwa Sàvitrì dan Satyavàn akan hidup seratus tahun lagi. Dewa Yama lenyap daro pandangan mata dan Sàvitrì membangunkan suaminya dari pangkuannya. Satyavàn hidup kembali. 

Keduanya bangkit dari posisinya. Malampun tiba. Saat itu sangat gelap. Mereka kesulitan menemukan jalan kembali. Satyavàn berusaha mencari pertapaannya. Sàvitrì mengikuti suaminya dengan sebilah kapak dan mendukung suaminya di bawah sinar bulan menuju pertapaan. Raja Dyumatsena bisa melihat kembali. Ia bersama istrinya berusaha menemukan putranya dan berjalan di sekitar pertapaan. 

Akhirnya semuanya berjumpa kembali. Mereka kembali pulang. Sàvitrì menjelaskan segala yang telah terjadi. Setiap orang merasakan kebahagiaan. Selanjutnya orang-orang dari Kerajaan Sàlva datang ke pertapaan. Mereka mengatakan bahwa menteri raja telah membunuh raja, dan orang-orang kemudian mengusir menteri tersebut, dan mereka kini memohon kepada Raja Dyumatsena untuk kembali memimpin kerajaan. Selanjutnya semua orang kembali ke Kerajaan Sàlva, dan Dyumatsena dinobatkan menjadi raja Kerajaan Sàlva.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar